Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Apa itu Persia?

Persia yang Perkasa

Bangsa Persia
Bangsa Persia

Di tanah tandus yang dipeluk pegunungan dan dikelilingi gurun, berdirilah sebuah peradaban yang kelak mengguncang dunia. Persia, begitu nama yang diberikan oleh orang-orang Yunani, adalah rumah bagi para raja besar, pemikir cemerlang, dan pejuang yang tak kenal takut. Namun, Persia bukan sekadar kerajaan yang dikenal karena kekuatannya. Ia adalah peradaban yang menyatukan bangsa-bangsa, menjunjung tinggi keadilan, dan menciptakan kebudayaan yang bertahan melampaui zaman.

Kisah Persia adalah kisah manusia yang bermimpi besar. Dari suku-suku kecil yang bertahan di tanah tandus hingga berdirinya sebuah kekaisaran yang menjangkau tiga benua, perjalanan ini dipenuhi dengan kemenangan, tragedi, dan keajaiban. Mari kita buka lembaran sejarah dan masuk ke dalam kisah agung Kerajaan Persia.

Latar Belakang Sejarah

Di lembah-lembah subur sekitar pegunungan Zagros, orang-orang Arya bermigrasi dari stepa Asia Tengah, membawa serta kebudayaan dan bahasa mereka. Dari para pendatang inilah, bangsa Persia lahir. Awalnya, mereka hanyalah sekumpulan suku yang hidup sederhana, mengandalkan pertanian dan peternakan. Namun, takdir telah menetapkan mereka untuk hal yang lebih besar.

Dinasti Achaemenid, yang menjadi fondasi Persia, didirikan oleh seorang pemimpin yang kelak disebut Cyrus yang Agung. Cyrus bukan hanya seorang penakluk, tetapi juga seorang pemersatu. Dengan kebijakan yang bijaksana, ia menaklukkan Babilonia, Lydia, dan Media tanpa menghancurkan budaya atau agama mereka. Ia dikenal karena toleransi yang luar biasa, bahkan memulihkan kuil-kuil orang Yahudi di Yerusalem, sebuah tindakan yang membuatnya dihormati hingga kini.

Di bawah Darius Agung, kekaisaran ini mencapai puncak kejayaannya. Ia bukan hanya seorang raja, tetapi juga seorang administrator ulung. Dengan kecerdikan, ia membagi kekaisaran menjadi satrapi—provinsi-provinsi yang dipimpin oleh gubernur yang setia. Jalan-jalan besar dibangun, termasuk Jalan Kerajaan, yang memungkinkan pengiriman pesan dari satu ujung kekaisaran ke ujung lainnya dalam hitungan minggu—sebuah pencapaian luar biasa di masanya.

Namun, kebesaran Persia tidak berakhir di sini. Dinasti Parthia dan Sasanid membawa kebangkitan baru. Parthia dikenal karena keahlian berkudanya yang tak tertandingi, menghadapi Kekaisaran Romawi dalam pertempuran-pertempuran epik. Sementara itu, Sasanid memperkokoh kebudayaan Persia, menjadikannya kekuatan budaya dan agama yang tak terbantahkan hingga datangnya Islam.

Struktur Politik dan Pemerintahan

Di dunia yang sering kali dikuasai oleh kekerasan, Persia menawarkan sebuah model pemerintahan yang berbeda. Raja Agung bukan sekadar pemimpin militer, tetapi juga simbol keadilan dan ketertiban. Dengan hati-hati, ia memilih para gubernur untuk mengelola satrapi, memastikan bahwa setiap sudut kekaisaran berada dalam kendali yang stabil.

Namun, di balik pemerintahan yang terorganisasi, ada kekuatan lain yang tak kalah penting: hukum. Batu Behistun, sebuah monumen besar yang diukir di tebing, adalah bukti bagaimana raja-raja Persia mengabadikan hukum dan sejarah mereka. Monumen ini tidak hanya mencatat kemenangan militer tetapi juga menyampaikan pesan moral kepada rakyatnya: bahwa keadilan adalah fondasi kekuasaan.

Militer Persia adalah tulang punggung kekaisaran. “10.000 Tentara Abadi,” pasukan elit yang selalu siap bertempur, adalah simbol kekuatan Persia. Mereka disebut “abadi” karena selalu digantikan segera setelah ada yang gugur, memastikan jumlah mereka tetap utuh. Dengan disiplin yang luar biasa dan perlengkapan perang terbaik, mereka menjadi momok bagi musuh-musuh Persia.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Namun, Persia bukan hanya tentang politik dan perang. Di balik kekuatan militer dan administrasinya, terdapat budaya yang mempesona. Zoroastrianisme, agama yang diajarkan oleh Zarathustra, menjadi fondasi spiritual Persia. Dalam agama ini, dunia adalah medan perang antara kebaikan dan kejahatan, dan manusia memiliki peran penting dalam menentukan nasibnya. Ritual api, yang dianggap sebagai simbol cahaya abadi, menjadi inti dari kepercayaan ini.

Seni Persia adalah cerminan dari kebesaran mereka. Persepolis, istana megah yang dibangun oleh Darius, adalah permata arsitektur dunia kuno. Dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi dan relief yang menggambarkan pengakuan para bangsa taklukkan, Persepolis bukan hanya tempat tinggal para raja tetapi juga pernyataan kebesaran Persia kepada dunia.

Di sisi ekonomi, Persia adalah pelopor inovasi. Mereka menciptakan sistem moneter berbasis koin emas dan perak, yang mempermudah perdagangan internasional. Jalur-jalur perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat menjadikan Persia sebagai penghubung dunia, tempat di mana budaya, ide, dan barang bertemu.

Hubungan dengan Peradaban Lain

Namun, sejarah Persia tidak bisa lepas dari hubungannya dengan peradaban lain. Yunani, tetangga mereka di Barat, adalah musuh sekaligus mitra budaya. Perang Yunani-Persia, yang mencakup pertempuran terkenal seperti Marathon dan Thermopylae, adalah saksi benturan dua dunia besar. Meski Persia gagal menaklukkan Yunani, pengaruh budaya mereka meresap ke dalam seni, filsafat, dan arsitektur Yunani.

Alexander Agung, yang kelak menaklukkan Persia, mengagumi kebudayaan mereka. Setelah mengalahkan Darius III, ia mengadopsi banyak tradisi Persia, menciptakan perpaduan Helenistik yang mengubah wajah dunia kuno.

Kejatuhan dan Pengaruh Jangka Panjang

Tak ada kejayaan yang abadi, begitu pula Persia. Invasi oleh bangsa-bangsa lain, dari Yunani hingga Arab, serta konflik internal, akhirnya meruntuhkan kekaisaran ini. Namun, jejak Persia tidak pernah benar-benar hilang. Dari seni Islam hingga sistem pemerintahan modern, warisan Persia tetap hidup.

Zoroastrianisme, meski digantikan oleh Islam, tetap memberikan pengaruhnya pada agama-agama besar dunia, termasuk Yahudi, Kristen, dan Islam. Filosofi moral yang diajarkan Zarathustra tentang kebaikan dan kejahatan tetap relevan hingga kini.

Kerajaan Persia adalah cermin dari potensi manusia untuk bermimpi besar dan menciptakan sesuatu yang melampaui batas waktu. Dari Cyrus hingga Darius, dari satrapi hingga Persepolis, Persia mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati terletak pada visi, kebijaksanaan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Dalam dunia modern, Persia tetap menjadi inspirasi, mengingatkan kita bahwa peradaban besar dibangun di atas dasar keadilan, toleransi, dan kreativitas.

Kehidupan dan Perkembangan Agama di Persia

Di tanah Persia, agama-agama besar tumbuh subur, berdampingan, dan meninggalkan jejak mendalam yang terus terasa hingga kini. Kekaisaran Persia, dengan luas wilayah yang mencakup tiga benua, adalah persimpangan berbagai kepercayaan, dari agama-agama lokal hingga kepercayaan yang melintasi batas-batas geografis. Toleransi beragama, yang menjadi ciri khas pemerintahan Persia, menciptakan lingkungan yang memungkinkan keanekaragaman kepercayaan untuk berkembang.

Zoroastrianisme: Jiwa Persia Kuno

Zoroastrianisme adalah agama utama Persia, yang berakar dalam ajaran Zarathustra (Zoroaster). Zarathustra, seorang nabi yang hidup sekitar 1200–1000 SM, memperkenalkan konsep dualisme kosmis: perjuangan antara kebaikan (Ahura Mazda) dan kejahatan (Angra Mainyu). Dalam pandangan ini, manusia memiliki peran besar dalam menentukan nasib dunia melalui pilihan moralnya.

Api suci adalah simbol utama Zoroastrianisme, melambangkan cahaya kebenaran yang melawan kegelapan. Tempat ibadah mereka, yang dikenal sebagai "kuil api," tersebar di seluruh Persia dan menjadi pusat kehidupan spiritual masyarakat. Selama Dinasti Achaemenid, Zoroastrianisme mendapatkan status resmi, meski raja-raja Persia dikenal toleran terhadap agama lain.

Di bawah Dinasti Sasanid, Zoroastrianisme mencapai puncak kejayaannya. Para raja Sasanid mempromosikan agama ini sebagai identitas nasional, dengan pendeta Zoroastrian memiliki peran besar dalam pemerintahan. Namun, kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa perubahan besar, dan banyak pengikut Zoroastrianisme bermigrasi ke India, di mana mereka dikenal sebagai kaum Parsis hingga kini.

Mandaeanisme: Sekte Suci Di Balik  Sungai-Sungai Persia

Di sudut-sudut sungai Persia, terutama di daerah Mesopotamia Selatan, berkembang agama Mandaeanisme, yang mungkin merupakan salah satu agama tertua yang masih bertahan hingga hari ini. Pengikut Mandaeanisme memuja Yohanes Pembaptis sebagai nabi terbesar mereka, dan ritual pembaptisan di sungai menjadi bagian penting dari kepercayaan ini.

Mandaeanisme menekankan dualisme serupa dengan Zoroastrianisme, dengan dunia cahaya dan dunia kegelapan sebagai konsep utama. Namun, berbeda dengan agama-agama lain di Persia, Mandaeanisme cenderung bersifat eksklusif, menjaga komunitasnya kecil dan tertutup. Meski sering kali terpinggirkan oleh agama-agama yang lebih dominan, Mandaeanisme terus bertahan di kalangan kecil masyarakat hingga hari ini.

Yahudi di Persia: Dari Pembuangan hingga Pembebasan

Sejarah Yahudi di Persia dimulai dengan tragedi, tetapi berakhir dengan pembebasan. Pada abad ke-6 SM, Raja Nebukadnezar II dari Babilonia membawa bangsa Yahudi ke pengasingan setelah menghancurkan Yerusalem. Ketika Persia, di bawah kepemimpinan Cyrus yang Agung, menaklukkan Babilonia, ia memberikan dekrit yang terkenal: membebaskan bangsa Yahudi dan memungkinkan mereka kembali ke Yerusalem untuk membangun kembali Bait Suci mereka.

Persia menjadi rumah bagi komunitas Yahudi yang besar dan makmur, terutama di kota-kota seperti Susa dan Ecbatana. Kitab Ester dalam Alkitab Ibrani mengisahkan bagaimana Ratu Ester, seorang Yahudi, menyelamatkan bangsanya dari ancaman pemusnahan di bawah kekuasaan Persia. Hubungan antara Yahudi dan Persia sebagian besar bersifat harmonis, dan banyak tradisi Yahudi diwarnai oleh pengaruh budaya Persia.

Kristen di Persia: Berkembang Dalam Stigma Kecurigaan

Kekristenan mencapai Persia pada abad pertama Masehi, dibawa oleh para penginjil seperti Rasul Tomas. Meski awalnya komunitas Kristen kecil, agama ini tumbuh pesat, terutama di bawah Kekaisaran Parthia. Kekristenan di Persia memiliki ciri khas tersendiri, dikenal sebagai Gereja Timur atau Gereja Nestorian, yang berkembang dengan doktrin yang berbeda dari Kekristenan Barat.

Namun, saat Kekaisaran Sasanid berkuasa, Kristen sering kali menghadapi penganiayaan, terutama karena dianggap bersekutu dengan Kekaisaran Romawi, musuh Persia. Meski demikian, Gereja Timur bertahan, mendirikan pusat-pusat pembelajaran dan misi di seluruh Asia, termasuk India dan Cina.

Yazidi: Cahaya Kuno di Persia Barat

Yazidisme, sebuah agama etnis yang berakar di wilayah Kurdistan dan Persia Barat, memiliki pengaruh besar dari Zoroastrianisme, Islam, dan kepercayaan lokal. Yazidisme memuja Tuhan yang Maha Esa dan makhluk surgawi yang disebut "Melek Taus," Malaikat Merak yang dianggap penjaga dunia.

Agama ini sering kali disalahpahami, bahkan menghadapi penganiayaan berat sepanjang sejarah. Meski kecil dalam jumlah, Yazidisme tetap bertahan sebagai warisan budaya dan spiritual yang unik di kawasan ini.

Toleransi dan Pluralisme di Persia

Keberadaan berbagai agama ini mencerminkan toleransi Persia yang luar biasa. Raja-raja Persia kuno, terutama dari Dinasti Achaemenid, dikenal menghormati kepercayaan rakyat mereka, sebuah pendekatan yang jarang ditemukan di dunia kuno. Bahkan di tengah tekanan politik dan agama, Persia tetap menjadi tempat bagi beragam tradisi spiritual untuk berkembang.

Warisan Agama di Persia

Persia adalah rumah bagi berbagai agama yang membentuk identitas spiritual dunia. Dari api Zoroastrian yang menyala abadi hingga baptisan Mandaean di sungai-sungai, dari kisah pembebasan Yahudi hingga penginjilan Kristen, Persia adalah tanah yang diberkati dengan kekayaan rohani. Warisan ini terus hidup, menginspirasi dunia modern untuk merangkul pluralisme dan toleransi sebagai inti dari kehidupan bersama.

Rivalitas Persia dan Yunani: Pertarungan Dua Dunia Besar

Di dunia kuno, tidak ada kisah yang lebih epik daripada pertarungan antara Kekaisaran Persia yang megah dan kota-kota Yunani yang penuh semangat. Ini bukan sekadar konflik militer, tetapi pertemuan dua peradaban besar dengan cara hidup, keyakinan, dan tujuan yang sangat berbeda. Persia, dengan kekaisarannya yang luas dan terorganisasi, bertemu dengan Yunani, kumpulan kota-kota merdeka yang kecil namun penuh ambisi. Pertarungan ini bukan hanya menentukan nasib wilayah Mediterania, tetapi juga membentuk sejarah dunia hingga ribuan tahun kemudian.

Akar Rivalitas: Kekuasaan dan Ekspansi

Ketegangan antara Persia dan Yunani dimulai dengan ekspansi Persia di bawah kekuasaan Dinasti Achaemenid. Cyrus yang Agung (559–530 SM) memperluas wilayah kekaisaran ke Asia Kecil, menaklukkan Lydia dan menguasai banyak kota-kota Yunani di pesisir Ionia. Kota-kota ini, meski berada di bawah kendali Persia, tetap mempertahankan identitas Yunani mereka, yang sering kali menjadi sumber pemberontakan dan ketegangan.

Ketika Darius I naik takhta pada tahun 522 SM, ia melanjutkan kebijakan ekspansi Cyrus. Darius tidak hanya ingin mempertahankan kekuasaan atas Ionia tetapi juga melihat Yunani daratan sebagai ancaman potensial yang perlu dikendalikan. Yunani, dengan sistem demokrasinya yang radikal, bertentangan dengan tradisi monarki Persia, menciptakan benturan ideologis yang mendasari rivalitas ini.

Pemberontakan Ionia dan Awal Konflik

Pemantik pertama rivalitas ini adalah Pemberontakan Ionia (499–493 SM), di mana kota-kota Yunani di Asia Kecil, dengan dukungan Athena dan Eretria, memberontak melawan kekuasaan Persia. Darius melihat tindakan ini sebagai pengkhianatan yang tidak bisa dibiarkan. Meski pemberontakan berhasil dihancurkan, intervensi Athena meninggalkan luka mendalam dalam hubungan Persia-Yunani.

Darius bersumpah untuk menghukum Athena dan Eretria. Ia mengirim utusan ke Yunani, meminta tanah dan air sebagai tanda penyerahan. Beberapa kota menyerah, tetapi Athena dan Sparta dengan tegas menolak. Penolakan ini bukan hanya simbol perlawanan tetapi juga pengumuman perang terhadap Persia.

Perang Yunani-Persia: Perjalanan ke Marathon

Darius melancarkan kampanye militer pertamanya ke Yunani pada tahun 490 SM. Pasukan Persia, yang dipimpin oleh jenderal Datis dan Artaphernes, berhasil menghancurkan Eretria tetapi menghadapi perlawanan keras di Marathon, dekat Athena.

Pertempuran Marathon adalah momen yang menentukan. Meski kalah jumlah, pasukan Athena berhasil mengalahkan Persia berkat taktik yang brilian dan semangat yang membara. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer tetapi juga psikologis, memberikan Yunani keyakinan bahwa mereka mampu melawan raksasa Persia.

Xerxes dan Invasi Kedua

Setelah kekalahan di Marathon, Darius meninggal, dan takhta diwarisi oleh putranya, Xerxes I. Xerxes memiliki ambisi besar untuk menaklukkan Yunani, bukan hanya untuk membalaskan dendam ayahnya tetapi juga untuk menunjukkan superioritas Persia.

Pada tahun 480 SM, Xerxes melancarkan ekspedisi militer terbesar yang pernah dilihat dunia kuno. Dengan pasukan yang diperkirakan mencapai 200.000 tentara dan armada besar, ia menyeberangi Selat Hellespont dengan membangun jembatan ponton, sebuah prestasi teknik yang luar biasa.

Namun, Yunani tidak menyerah begitu saja. Kota-kota yang sebelumnya terpecah, seperti Athena dan Sparta, bersatu dalam aliansi untuk melawan Persia. Pertempuran Thermopylae menjadi simbol keberanian Yunani. Raja Leonidas dari Sparta dan 300 prajuritnya melawan pasukan Persia yang jauh lebih besar, menunda kemajuan mereka dan memberikan waktu bagi Yunani untuk mempersiapkan pertahanan. Meski akhirnya kalah, perlawanan di Thermopylae menunjukkan bahwa Persia tidak akan menang dengan mudah.

Salamis dan Plataea: Akhir Impian Persia

Setelah Thermopylae, Xerxes melanjutkan invasinya dan berhasil menduduki Athena. Namun, kemenangan ini tidak berlangsung lama. Dalam Pertempuran Salamis, armada Persia dihancurkan oleh taktik cerdik Themistocles, komandan Athena. Pertempuran laut ini membalikkan keadaan, memaksa Xerxes mundur ke Asia Kecil dan meninggalkan pasukannya di daratan Yunani.

Setahun kemudian, di Pertempuran Plataea (479 SM), pasukan Yunani di bawah komando Sparta berhasil mengalahkan sisa pasukan Persia. Ini menandai akhir dari invasi Persia ke Yunani dan kemenangan penuh bagi aliansi Yunani.

Rivalitas yang Berlanjut: Perang Dingin Dunia Kuno

Meski invasi Persia gagal, rivalitas ini tidak berakhir begitu saja. Kekaisaran Persia tetap menjadi ancaman di perbatasan Yunani, sementara Athena dan Sparta terlibat dalam konflik internal yang melemahkan kekuatan mereka. Persia sering kali menggunakan diplomasi, memanfaatkan konflik antara kota-kota Yunani untuk mempertahankan pengaruhnya.

Pada abad ke-4 SM, Alexander Agung dari Makedonia muncul sebagai pemain baru di panggung sejarah. Dalam kampanye militernya melawan Persia, Alexander berhasil menaklukkan kekaisaran yang pernah menjadi musuh bebuyutan Yunani. Namun, ia tidak menghancurkan Persia. Sebaliknya, ia mengadopsi banyak tradisi Persia, menciptakan perpaduan budaya Helenistik yang membentuk dunia Mediterania dan Asia Barat selama berabad-abad.

Kontras Budaya dan Ideologi

Rivalitas ini lebih dari sekadar konflik militer; ini adalah benturan dua dunia yang berbeda. Persia mewakili kekaisaran besar yang terorganisasi dengan hierarki kuat dan toleransi budaya. Yunani, sebaliknya, adalah kumpulan kota-kota kecil dengan kebanggaan akan kemerdekaan dan demokrasi.

Bagi Persia, Yunani adalah ancaman kecil tetapi keras kepala yang harus ditundukkan. Bagi Yunani, Persia adalah ancaman besar yang harus dilawan untuk mempertahankan kebebasan mereka. Perbedaan ini menciptakan narasi epik yang masih dikenang hingga kini.

Warisan Rivalitas Persia dan Yunani

Konflik antara Persia dan Yunani tidak hanya membentuk sejarah militer tetapi juga budaya. Banyak karya seni, drama, dan sastra Yunani terinspirasi oleh perang ini. Herodotus, yang sering disebut sebagai "Bapak Sejarah," menulis tentang perang ini, memberikan gambaran tentang dunia Persia dan Yunani yang sering kali penuh dengan bias tetapi tetap berharga sebagai dokumen sejarah.

Di sisi lain, Persia juga dipengaruhi oleh Yunani. Setelah penaklukan oleh Alexander, budaya Yunani menyebar ke seluruh wilayah Persia, menciptakan perpaduan Helenistik yang memperkaya peradaban dunia.

Rivalitas Persia dan Yunani adalah cermin dari sifat manusia: konflik antara kekuatan besar dan kecil, antara tradisi lama dan gagasan baru, antara kekuasaan absolut dan kebebasan individu. Hingga hari ini, cerita ini terus menginspirasi, mengingatkan kita bahwa sejarah adalah panggung bagi perjuangan, inovasi, dan harapan.

Perkembangan Persia hingga Menjadi Republik Islam Iran: Sebuah Timeline

Perjalanan Persia menjadi Republik Islam Iran adalah kisah panjang penuh dinamika politik, budaya, dan agama. Dari era kekaisaran kuno hingga revolusi modern, transformasi ini melibatkan pergantian dinasti, kolonialisme, gerakan nasionalis, dan kebangkitan Islam politik. Berikut adalah timeline pentingnya:

Era Kekaisaran Persia Kuno

550 SM: Cyrus yang Agung mendirikan Kekaisaran Achaemenid, kekaisaran terbesar di dunia kuno.

Persia menjadi pusat kekuasaan, budaya, dan toleransi agama.

330 SM: Kekaisaran Achaemenid runtuh setelah penaklukan oleh Alexander Agung.

224 M: Dinasti Sasanid berdiri, mempromosikan Zoroastrianisme sebagai agama negara.

Kekaisaran Sasanid menjadi rival utama Kekaisaran Romawi dan Bizantium.

651 M: Kekaisaran Sasanid runtuh setelah invasi Muslim. Persia menjadi bagian dari Kekhalifahan Rashidun.

Islamisasi Persia

7–10 M: Proses Islamisasi berlangsung secara bertahap, meskipun budaya Persia tetap kuat.

Persia menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam, menghasilkan ilmuwan seperti Al-Farabi dan Avicenna.

Dinasti-dinasti Muslim

1501: Dinasti Safavid berdiri, menjadikan Syiah Islam sebagai agama resmi Persia.

Safavid memperkuat identitas nasional Persia berbasis Syiah, berbeda dari dunia Sunni di sekitarnya.

1722: Dinasti Safavid runtuh setelah invasi Afganistan.

1794: Dinasti Qajar berdiri, mengembalikan stabilitas politik, tetapi menghadapi tekanan besar dari kekuatan kolonial seperti Rusia dan Inggris.

Modernisasi dan Pengaruh Kolonial

1906: Revolusi Konstitusional Persia: Persia mendapatkan konstitusi pertama dan mendirikan parlemen (Majlis). Kekuasaan monarki Qajar mulai dibatasi, tetapi pengaruh asing tetap besar.

1921: Reza Khan, seorang perwira militer, melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan.

1925: Reza Khan mendirikan Dinasti Pahlavi dan menjadi Reza Shah. Mulai modernisasi besar-besaran, termasuk reformasi hukum, pendidikan, dan militer, tetapi sering kali dengan menekan budaya tradisional dan agama. 

Dinasti Pahlavi dan Jalan Menuju Revolusi

1941: Selama Perang Dunia II, Inggris dan Uni Soviet menduduki Persia karena kedekatan Reza Shah dengan Jerman. Reza Shah dipaksa turun takhta, dan putranya, Mohammad Reza Pahlavi, menjadi raja.

1945: Mohammad Mossadegh menjadi Perdana Menteri dan menasionalisasi industri minyak, menantang dominasi Inggris.

1953: Kudeta yang didukung CIA dan MI6 menggulingkan Mossadegh, mengembalikan kekuasaan absolut Mohammad Reza Shah.

1963: Mohammad Reza Shah meluncurkan "Revolusi Putih," serangkaian reformasi ekonomi dan sosial. Langkah ini mendapat penentangan besar dari ulama, termasuk Ayatollah Ruhollah Khomeini, yang diasingkan.

Revolusi Islam dan Lahirnya Republik Islam

1978: Ketidakpuasan terhadap rezim Pahlavi memuncak menjadi protes massal. Protes ini dipicu oleh isu korupsi, ketimpangan sosial, pengaruh Barat, dan penindasan brutal rezim.

1979

  • Januari: Mohammad Reza Shah meninggalkan Iran untuk pengobatan, meninggalkan pemerintahan dalam kekacauan.
  • Februari: Ayatollah Khomeini kembali dari pengasingan di Paris, disambut jutaan pendukung.
  • April: Iran resmi menjadi Republik Islam Iran setelah referendum nasional, di mana mayoritas memilih sistem pemerintahan berbasis Syiah Islam.
  • Desember
  • Konstitusi baru disahkan, menjadikan Khomeini sebagai Pemimpin Tertinggi (Supreme Leader), posisi tertinggi di Iran.

Era Republik Islam

1980–1988: Perang Iran-Irak: Konflik besar dengan Irak yang dipimpin Saddam Hussein. Perang ini memperkuat ideologi revolusi dan menciptakan solidaritas nasional meskipun ada kerugian besar.

1997: Mohammad Khatami terpilih sebagai presiden, membawa gelombang reformasi politik dan sosial di tengah sistem Islam konservatif.

2005: Mahmoud Ahmadinejad terpilih sebagai presiden, membawa Iran kembali ke politik konservatif dan menghadapi tekanan internasional terkait program nuklirnya.

2015: Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA) ditandatangani antara Iran dan kekuatan dunia, memberikan kelonggaran sanksi ekonomi sebagai imbalan atas pembatasan program nuklir Iran.

2018: Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menarik diri dari JCPOA, memulai kembali sanksi ekonomi yang berat terhadap Iran.

Perlu diketahui bahwa Persia bukan Arab, meski keduanya mungkin terlihat berbagi budaya yang sama. Walau begitu, kedekatan Persia (dan kini Iran) dengan banyak bangsa Arab, khususnya Palestina dan Lebanon, membuat keduanya makin mesra dan hangat. 

Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "Apa itu Persia?"