Pemikiran Nietzsche dan Perkembangan Fasisme
Friedrich Nietzsche adalah salah satu filsuf paling kontroversial, dan pemikirannya sering disalahpahami atau disalahgunakan oleh berbagai kelompok, termasuk mereka yang mempromosikan ideologi fasis dan rasis.
Padahal, pemikiran asli Nietzsche sebenarnya sangat kompleks dan berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar yang dipegang oleh fasisme dan rasisme. Untuk memahami bagaimana pemikiran Nietzsche bisa berkontribusi atau dipakai untuk melegitimasi ideologi fasis dan nasionalis-sosialisme (Nazisme), kita perlu melihat beberapa aspek penting dari perkembangan filsafat Nietzsche dan bagaimana ide-idenya digunakan atau diselewengkan oleh tokoh-tokoh tertentu.
Pemikiran Nietzsche yang Sering Disalahgunakan
Ubermensch (Manusia Unggul)
Salah satu konsep Nietzsche yang paling sering disalahartikan adalah Ubermensch, atau "manusia unggul." Nietzsche membayangkan Ãœbermensch sebagai individu yang melampaui moralitas tradisional dan menciptakan nilai-nilai hidupnya sendiri, bebas dari batasan-batasan moral agama atau sosial. Dalam konteks ini, Ubermensch adalah lambang dari individu yang kuat secara moral dan intelektual, bukan ras atau bangsa tertentu yang unggul atas yang lain.
Namun, kelompok fasis dan nasionalis-sosialisme (Nazi) menginterpretasikan konsep ini sebagai pembenaran untuk "keunggulan rasial." Mereka memutarbalikkan makna Ãœbermensch untuk mendukung gagasan bahwa ras Arya (bangsa Jerman) adalah ras unggul yang berhak mendominasi ras-ras lain.
Padahal, Nietzsche sendiri justru mengkritik nasionalisme sempit dan fanatisme rasial. Dalam beberapa surat pribadi, Nietzsche bahkan secara terbuka mengecam antisemitisme (kebencian terhadap Yahudi) dan nasionalisme Jerman yang ia anggap sebagai bentuk kebodohan massa.
Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power)
Nietzsche mengajukan konsep Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) sebagai dorongan mendasar di balik semua kehidupan.
Kehendak ini bukanlah keinginan untuk mendominasi orang lain secara fisik atau politik, melainkan dorongan batin untuk mengatasi diri sendiri, berkreasi, dan mencapai potensi maksimal. Namun, dalam konteks fasisme, ide ini diartikan sebagai pembenaran untuk ekspansi kekuasaan politik dan militer, serta penindasan terhadap kelompok yang dianggap lebih lemah.
Di tangan rezim Nazi, kehendak untuk berkuasa ini diinterpretasikan sebagai hak mereka untuk menaklukkan wilayah, mendominasi bangsa lain, dan memusnahkan kelompok-kelompok yang dianggap lebih rendah secara rasial. Penafsiran ini jauh menyimpang dari pandangan Nietzsche, yang lebih tertarik pada pertumbuhan individu daripada dominasi kolektif.
Kematian Tuhan (God is Dead) dan Nihilisme
Deklarasi Nietzsche bahwa Tuhan telah mati adalah kritik terhadap hilangnya kekuatan agama dalam membimbing nilai-nilai moral masyarakat Barat. Nietzsche khawatir bahwa tanpa panduan moral yang jelas, masyarakat akan jatuh ke dalam nihilisme, yaitu keadaan di mana kehidupan dianggap tidak memiliki makna. Namun, Nietzsche melihat ini sebagai peluang bagi manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru dan menjalani hidup yang lebih bermakna tanpa harus tunduk pada dogma agama.
Rezim Nazi memanfaatkan gagasan nihilisme ini untuk menghancurkan nilai-nilai lama dan memaksakan ideologi baru mereka. Dengan menolak moralitas tradisional, termasuk ajaran kasih dalam agama Kristen, mereka menggantinya dengan doktrin kekerasan, supremasi rasial, dan pemujaan terhadap negara dan pemimpin (Fuhrer). Pemikiran Nietzsche tentang krisis nilai dalam masyarakat modern digunakan sebagai alasan untuk memberlakukan sistem baru yang mendukung dominasi Jerman, padahal Nietzsche sendiri mengutuk segala bentuk otoritarianisme.
Pengaruh Karya Nietzsche di Tangan Elisabeth Förster-Nietzsche
Dalam pidato-pidatonya, Hitler sering menyebut Nietzsche sebagai filsuf yang menginspirasi kebangkitan "bangsa Arya."
Salah satu faktor terbesar yang menyebabkan pemikiran Nietzsche diselewengkan adalah peran saudara perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche. Setelah kematian Nietzsche pada tahun 1900, Elisabeth mengambil alih karya-karya saudaranya dan menjadi penjaga arsip Nietzsche. Elisabeth memiliki pandangan politik yang sangat berbeda dari saudaranya. Dia dan suaminya adalah penganut fanatik nasionalisme Jerman dan antisemitisme. Elisabeth bahkan terlibat dalam upaya mendirikan koloni Jerman di Paraguay yang bertujuan menciptakan negara Arya murni.
Elisabeth menyunting dan memodifikasi tulisan-tulisan Nietzsche untuk mendukung ide-ide fasis dan antisemit yang sejalan dengan pandangan politiknya.
Melalui manipulasi inilah karya-karya Nietzsche kemudian digunakan oleh para ideolog Nazi untuk mendukung propaganda mereka. Misalnya, karya Nietzsche yang belum selesai, Der Wille zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa), disunting oleh Elisabeth dengan cara yang menekankan gagasan tentang kekuasaan dan kekuatan dalam konteks politik, yang tidak sesuai dengan maksud asli Nietzsche.
Pemanfaatan Pemikiran Nietzsche oleh Tokoh-Tokoh Nazi
Hitler dan Mussolini, pemimpin berideologi fasis |
Tokoh-tokoh utama dalam Nazi Jerman, termasuk Adolf Hitler dan Joseph Goebbels, memanfaatkan pemikiran Nietzsche sebagai alat propaganda untuk mendukung ideologi mereka. Mereka mengutip karya-karya Nietzsche—sering kali versi yang telah disunting oleh Elisabeth—untuk membenarkan kebijakan-kebijakan brutal seperti perang ekspansi, penjajahan, dan genosida terhadap orang Yahudi. Dalam pidato-pidatonya, Hitler sering menyebut Nietzsche sebagai filsuf yang menginspirasi kebangkitan bangsa Arya.
Padahal, seperti disebutkan sebelumnya, Nietzsche sebenarnya sangat mengkritik nasionalisme Jerman dan sentimen antisemit.
Dalam berbagai tulisannya, Nietzsche mengutuk gerakan antisemit di Jerman dan menyebutnya sebagai kebodohan yang lahir dari kebencian kolektif yang buta. Dia juga menganggap nasionalisme sempit sebagai bentuk fanatisme yang bertentangan dengan intelektualitas dan kebebasan individu.
Kesimpulan: Pemikiran Nietzsche dan Perannya dalam Fasisme
Pada akhirnya, pemikiran Nietzsche tidak secara langsung mendukung fasisme atau rasisme. Justru, banyak ide dalam karyanya yang bersifat anti-otoritarian dan menentang nasionalisme. Namun, pemikiran-pemikirannya yang sering ambigu dan multi-tafsir, seperti Ãœbermensch, kehendak untuk berkuasa, dan kematian Tuhan, diambil keluar dari konteks oleh saudara perempuannya dan oleh rezim Nazi untuk membenarkan tindakan mereka.
Ini adalah contoh bagaimana pemikiran filsafat yang kompleks bisa disalahgunakan untuk mendukung ideologi yang bertentangan dengan niat asli penulisnya. Nietzsche memang penuh kontradiktif. Beberapa karyanya seperti Sabda Zarathustra lebih terdengar seperti novel mistis berbau filsafat daripada pedoman praktis untuk hidup yang lebih baik.
Nietzsche sendiri, jika hidup di zaman Nazi, mungkin akan menjadi salah satu pengkritik paling keras terhadap ideologi yang dibawa oleh Hitler dan para pengikutnya.
Fasisme adalah awal mula pemicu Perang Dunia II. Catatan Adi punya banyak sekali artikel tentang itu, baca tulisan menariknya di bawah ini:
Posting Komentar untuk "Pemikiran Nietzsche dan Perkembangan Fasisme"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.