Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Natal dan Pembebasan Semesta

Halo pembaca, gimana, masih mengira kalo Natal ada hubungannya sama Mithra, Dewa Matahari Romawi? Ya, itu hak Anda semua, tetapi kali ini Catatan Adi ingin menulis Natal bukan dari sudut pandang tersebut.

Oke kali ini kita akan bersama-sama melihat hari kelahiran Isa Almasih a.k.a Tuhan Yesus Kristus dari perspektif seorang manusia yang rindu akan sebuah pembebasan.

Banyak yang menganggap perayaan Natal adalah perayaan ulang tahun semata, padahal ada banyak hal lain yang jauh lebih penting dan menarik untuk dijadikan bahan refleksi.

Yesus lahir saat Romawi sedang hebat-hebatnya mencengkeram Eropa, Asia serta sebagian Afrika. Bangsa ini menjadi seolah-olah penguasa yang tidak ada duanya. Itu semua jelas karena selain memiliki militer yang mumpuni, sumber daya dan kultur Romawi mampu melahirkan sistem yang hebat yang bisa memastikan program perluasan tanah jajahan berlangsung terus sembari tetap mengelola wilayah yang sudah direbut.

Disebut dalam Kitab Suci, khususnya keempat Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes), Israel berada di bawah kekuasaan Romawi yang menunjuk seorang raja bernama Herodes untuk memerintah bangsa ini.

Herodes adalah raja yang kejam, bengis, arogan namun pengecut. Ia bukan orang yang layak meneruskan tahta Daud dan Sulaiman sebagai raja Yahudi, melainkan hanya boneka. 

Dalam tulisan di blognya yang berjudul Life Among The People of Israel when Jesus was Born, John F. Frink menjelaskan bahwa orang-orang Israel sangat bersifat antipati pada pemerintahan Romawi. Ini bisa dimengerti karena sebagai orang terjajah, mereka tentu merasa muak dan ingin merdeka dari belenggu penjajahnya.

Pendapat Frink bisa dilacak dari banyak kejadian yang terekam dalam Bible, dimana orang Israel memiliki kebencian terhadap pemungut cukai, yakni pegawai pemerintahan yang bertugas menarik pajak atas bangsa Ibrani.

Selain itu di Israel sendiri muncul kelompok militan bernama Zelot yang secara politik ingin mengusir antek-antek Roma dari tanah Yahudi. Nantinya ada seorang dari organisasi ini yang kemudian menjadi salah satu murid Yesus, yakni Simon orang Zelot. (Matius 10:4)

Bangsa Israel sendiri juga merindukan sosok Mesias, tetapi bukan sebagai juruselamat dunia, melainkan sang pembebas yang akan memimpin perlawanan habis-habisan untuk menegakkan negara Israel yang berdaulat secara politik. 

Gema mesianik memang cukup masif terasa, khususnya saat bangsa ini sudah tercabik-cabik harga dirinya. 

Dalam novel fiksi-historis karya Paul L. Maier berjudul Flames of Rome, nampak jelas bahwa bangsa Yahudi adalah salah satu bangsa jajahan Roma yang paling menjengkelkan

Mereka tidak mau tunduk dan menyembah pada kaisar Roma serta memiliki kultur inklusif yang cenderung antipati pada orang asing. 

Sebelumnya sudah ada tokoh bernama Yudas Makebe yang dianggap sebagai pahlawan Ibrani tatkala dirinya mampu menggerakkan bangsanya untuk melawan orang Eropa dari dinasti Yunani-Makedonia. 

Perspektif Salah Orang Yahudi

Natal dan pembebasan semesta
Natal dan pembebasan semesta

Dari jiwa-jiwa inferior yang terjajah ini, bangsa Ibrani memiliki pandangan yang keliru, bahwa Yahwe akan mengirim Mesias untuk memimpin lanjutan perlawan secara paripurna dengan tujuan kemenangan telak dan akhirnya kemerdekaan bagi negara Israel.

Bisa jadi mereka membayangkan sosok yang tinggi besar seperti Saul, ahli perang semacam Daud dan kharismatik seperti Gideon. Nyatanya, Mesias yang hadir justru dilahirkan di kandang domba, bersama para gembala di padang dan orang Majus.

Lantas pembebasan seperti apa yang ditawarkan Yesus? Bukankah selama hidupnya Ia bahkan tidak memiliki pencapaian yang setara dengan Yudas Makebe atau bahkan para militan Zelot? Bahkan dalam khotbahnya, sama sekali Ia tidak menyinggung perjuangan fisik untuk merebut kemerdekaan Israel?

Di titik inilah harus disadari bahwa pembebasan yang ditawarkan oleh Yesus jauh lebih besar melampaui segala akal pikiran dan perspektif orang-orang sezamannya.

Ia tidak menawarkan kemerdekaan semu bagi Israel atau setidak-tidaknya merebut tahta Herodes. Misinya jauh lebih agung dari itu semua, yakni pembebasan segala bangsa dari belenggu kebodohan, kefanaan dan tentu saja dosa.

Baca juga 8 ide aktivitas seru untuk momen Natal.

Natal dan Kaum Proletar

Bayangkan, istri sedang hamil dan tidak ada yang bersedia membukakan pintu untuk menolong. Inilah gambaran bagaimana bengisnya masyarakat dalam memandang golongan orang-orang miskin yang hanya dianggap akan merepotkan saja tanpa bisa memberi keuntungan. Inilah gambaran mereka yang setelah dieksploitasi habis-habisan tetapi masih diacuhkan dan dibiarkan sendiri untuk menghadapi kerasnya hidup. 

Kebencian para pemimpin komunis Uni Soviet pada agama, khususnya Kristen memang mengerikan. Meskipun secara konstitusi, negara itu tidak memusuhi kekristenan, tetapi mereka juga mereduksi pengaruh Kristen di tengah-tengah bangsa Soviet. 

Hal ini bisa dimaklumi karena dalam filsafat komunis, upaya paling krusial adalah memusnahkan kapitalisme beserta feodalisme, dan saat itu kekristenan dianggap ada di dalamnya.

Padahal nyata-nyata ajaran Yesus adalah sangat menjunjung tinggi keadilan sosial serta menolak kerakusan kaum borjuis. Yesus sangat memihak pada mereka yang lemah secara ekonomi dan berada di bawah penindasan. Dan itu semua sudah terlihat sejak bagaimana Ia lahir ke dunia.

Kaum gembala di masa itu bisa dianggap sebagai kasta bawah dalam masyarakat. Mereka adalah kelas pekerja (baca: proletar) yang justru masuk dalam daftar rencana Yesus untuk menjadi saksi kehadiranNya di dunia ini.

Tersebutlah dalam Kitab Lukas 2:8-20, berita tentang lahirnya Raja Semesta ke dunia justru disebarluaskan oleh para proletar ini.

Mereka yang masih harus bekerja di malam hari menjaga domba-dombanya didatangi oleh malaikat, untuk dipersilahkan melihat Sang Bayi Yesus. 

Ini sangat jauh berbeda dengan kisah dari Para Majus, yakni orang-orang terpandang yang bahkan dalam beberapa literatur disebut sebagai para raja negara manca, yang harus bertanya kepada Herodes dimana Yesus lahir. 

Kelahiran Yesus juga bukan di istana megah yang bergelimang emas permata, namun di kandang ternak, dan lebih tepatnya di palungan (bukan di bawah pohon). Palungan adalah tempat makan hewan ternak. 

Kisah mengenai keberpihakan Yesus pada mereka yang teralienasi oleh sistem terlihat jelas ketika bagaimana Yusuf (Santo Yosef, suami Maria) ditolak oleh warga untuk mendapatkan sekedar tempat untuk menginap. Padahal Maria sedang hamil. 

Bayangkan, istri sedang hamil dan tidak ada yang bersedia membukakan pintu untuk menolong. Inilah gambaran bagaimana bengisnya masyarakat dalam memandang golongan orang-orang miskin yang hanya dianggap akan merepotkan saja tanpa bisa memberi keuntungan. Inilah gambaran mereka yang setelah dieksploitasi habis-habisan tetapi masih diacuhkan dan dibiarkan sendiri untuk menghadapi kerasnya hidup. 

Kematian bayi-bayi proletar memang hanyalah sebatas angka bagi masyarakat yang hidup dalam sistem kapitalisme. Mereka sudah merasa jengah dan lelah menghadapi masalah mereka sendiri sehingga menolong orang lain yang berada di tepi jurang yang berbahaya bukanlah sebuah prioritas. Dalam kisah kelahiran Kristus yang penuh drama tersebut, terpampang nyata bagaimana manusia sudah kehilangan kemanusiaannya. Inilah sistem yang harus dihancurleburkan, kemudian dirombak dari akarnya agar manusia dapat kembali menjadi insan yang penuh kesejatian, yakni memiliki bela rasa yang tinggi dan berani bertindak melawan ketidakbenaran. Dan itulah yang akan dilakukan oleh Yesus.

Natal sebagai sebuah drama telah memilih para aktornya, dimana diantaranya adalah para proletar, yakni kaum gembala.

Keberadaan gembala yang langsung pergi ke Bethlehem (entah sejauh apa tempat mereka sebelumnya dari kandang Yesus dilahirkan) tentu karena sebuah alasan yang maha kuat. Tidak ada alasan bagi seorang miskin untuk mau bergerak kecuali jika itu adalah sangat kuat. Di sini malaikat hadir untuk memberikan pengalaman mistis yang membuat mereka yakin bahwa mereka harus menjumpai Sang Bayi. 

Kemampuan untuk menggerakkan kelas pekerja memang tidak hanya dimonopoli oleh para tokoh kitab suci. Dalam sejarah manusia ada banyak sekali agitator ulung yang mampu menyadarkan kaum proletar untuk bangkit dan bergerak dan memulai revolusi, entah itu setelah mereka mampu memancing dengan imbalan sebuah hari yang gilang-gemilang paska ditumbangkannya borjuisme, atau setelah berhasil mengakumulasi dendam kesumat terhadap hidup yang tidak adil. 

Namun Yesus tidak pernah melakukan itu. Dia tidak pernah memulai revolusi. Tidak ada darah yang tertumpah, selain darahnya sendiri. Tentu ini adalah contoh bagaimana menghancurkan kapitalisme harus dimulai dengan ketulusan dan latar belakang yang berlandaskan kemanusiaan. 

Lonceng Natal adalah Pertanda dimulainya Revolusi 

Dari sekilas uraian di atas bisa dipahami bersama bahwasanya sejak kelahirannya, Yesus sudah memilih untuk bersama mereka yang menjadi korban dari dunia yang sudah kehilangan hati yang suci, yang membiarkan sesamanya terlunta-lunta, hidup teralienasi, menderita dan sengsara.

Yesus bukan hanya lahir untuk orang Yahudi. Inilah yang tidak bisa diterima bangsa Ibrani, yang menganggap agama mereka hanya untuk diri mereka sendiri. 

Yesus adalah bukti bahwa Yahwe sangat Penguasa alam semesta tidak melulu memandang orang Yahudi semata, tetapi juga bangsa-bangsa lain. Terbukti, kekristenan menyebar hingga ke pulau-pulau kecil di pasifik, diimani orang dari Asia hingga Amerika Utara, berkembang secara luar biasa bersama dengan budaya-budaya asing yang tidak pernah disebutkan dalam Bible. 

Inilah nilai lain lanjutan yang harus menjadi refleksi bersama, bahwa Natal adalah untuk segala bangsa. Bisa kita lihat justru ornamen Natal berasal dari budaya-budaya Eropa, semacam pohon terang dan lonceng Natal. 

Lagu-lagu Natal kontemporer maupun kuno, yang bisa menggerakkan hati untuk kembali menenggok pada Sang Bayi Yesus, justru berbahasa latin, Spanyol, Jerman, Inggris, dan lainnya. 

Misi-misi kekristenan untuk mengenalkan Injil ke seluruh dunia dilakukan oleh bangsa-bangsa yang tidak dikenal dalam Bible, seperti oleh orang Portugis, Amerika Serikat dan Italia.

Kekristenan tidak menghendaki munculnya rezim baru pengganti kapitalisme (maupun feodalisme), melainkan menjadi pilihan alternatif yang dari sanalah terpancar kelembutan sekaligus keadilan. Hal inilah yang mampu melunakkan hati para Viking yang tadinya beringas saat masih hidup dalam kultur agama Nordik, menjadi jauh lebih lembut. 

Sejak muncul dan bangkitnya kekristenan, dunia berubah. Hukum Kasih yang bersumber salah satunya dari Kotbah di Bukit (Baca Matius 5:1-12), sebuah orasi dahsyat dimana Yesus memberikan harapan tentang manusia sejati yang tidak lagi harus membiarkan orang lain dibiarkan teralienasi, tetapi dengan murah hati mengangkat derajat sesamanya. 

Kekristenan menawarkan bukan hanya sebagai jalan ketiga diantara Kapitalisme dan Sosialisme. Kekristenan mendobrak sistem sejak dari akar-akarnya, menyentuh relung hati manusia sebagai seorang makhluk yang berhati nurani, untuk bergerak menunjukkan kemurahan hati dan cinta damai tanpa perlu embel-embel ideologi. 

Pembebasan yang ditawarkan oleh Kristus dimulai dari Anda, agar Anda menjadi manusia yang penuh kasih, membuka telinga untuk mereka yang menjerit karena lapar. Membuka mata untuk berani melihat ketidakbenaran yang mungkin selama ini dinormalisasi oleh sistem. Bukan harus lewat revolusi yang menggelora dan maha-hebat, tetapi melalui tindakan-tindakan kecil untuk membukakan pintu bagi Yusuf dan Maria masa kini yang hidupnya sedang genting-gentingnya.

Inilah awal mula pembebasan semesta. Mewujudkan sebuah dunia yang adil makmur seperti yang diidam-idamkan oleh Sir Thomas More dalam bukunya berjudul Utopia.

Dalam perjalanannya selama sekitar 33 tahun di bumi, Kristus mengajar banyak hal, merombak perspektif yang salah, berani menjadi tidak populer, menolong janda yang terasing, menyelamatkan mereka yang sakit, melunakkan hati pemungut cukai yang korup dan melawan Romawi bukan dengan menjadikan pengikutnya sebagai tameng hidup, tetapi mengorbankan dirinya di kayu salib. 

Kristus tidak pernah menyebarkan hoaks, membayar sekelompok orang untuk membentuk kelompok pemujanya, mengancam mereka yang tidak sejalan dengan kekerasan, ataupun mengorbankan pengikutnya demi keuntungan pribadi. 

Dia memulai revolusi semesta dari dirinya, dan menjadikan tindak-tanduknya sebagai contoh bahwa kasih memang harus disebarkan meskipun tidak mudah. 

Lebih dari itu, dari perspektif yang lain, Kristus memang adalah Mesias yang dinubuatkan oleh para Nabi. Dia mampu karena memang dia punya otoritas untuk itu. Maka tidak salah jika menempatkannya sebagai contoh dan sumber kehidupan. 

Pada akhirnya keberadaannya memulai sebuah era baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Meski jelas bukan yang berteriak-teriak Kristen adalah secara otomatis pengikut Kristus, karena banyak orang menganggap hal ini juga sebagai peluang usaha untuk memperkaya diri, menggunakan Kristus sebagai sarana mendapatkan kekayaan. 

Apapun itu, denting lonceng Natal sudah berbunyi dan akan terus berbunyi. Suaranya menggema ke seluruh pelosok bumi, bersamaan dengan tersebarnya ajaran cinta kasih yang bersumber pada kepedulian serta keadilan sosial. Dan semua itu dimulai sejak saat kelahirannya. 

Selamat Natal, salam pembebasan!

Adi
Adi Saya adalah seorang bloger yang sudah mulai mengelola blog sejak 2010. Sebagai seorang rider, saya tertarik dengan dunia otomotif, selain juga keuangan, investasi dan start-up. Selain itu saya juga pernah menulis untuk media, khususnya topik lifestyle, esai lepas, current issue dan lainnya. Blog ini terbuka untuk content placement, sewa banner atau kerja sama lain yang saling menguntungkan.

Posting Komentar untuk "Natal dan Pembebasan Semesta"