Dilema WFH, Mematikan Video Karena Rumahnya Jelek
Di masa seperti sekarang ini, kerja dari rumah atau yang jamak disebut sebagai WFH menjadi semakin umum untuk dilakukan.
Bukan hanya WFH, juga adalah SFH atau school from home alias belajar dari rumah. Aku sendiri juga lebih banyak melakukan WFH tinimbang bekerja dari kantor. Awalnya memang sulit, tetapi lambat laun aku mulai menyukainya. Setidaknya bisa hemat uang bensin dan tak perlu berpanas-panasan di jalan ketika akan berangkat atau pulang kerja.
Masih mengenai WFH, terkadang aku geli ketika melihat banyak orang, khususnya dalam webinar ataupun rapat online, mematikan kamera video mereka. Jangan-jangan mereka sedang melakukan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan yang harusnya mereka ikuti sambil membuka kamera video.
Dilema WFH |
Namun suatu kali ada sebuah kesadaran yang datang kepadaku. Ia datang layaknya batu yang dilempar tepat mengenai kepalaku, membentur keras hingga membuatku terhenyak.
Aku mencoba memposisikan diriku 20 tahun lalu, ketika keadaan rumah tempat tinggalku benar-benar tidak layak. Tidak ada kamar, dipanpun diletakkan di ruang tamu. Dinding yang terbuat dari papan dengan lubang di sana-sini yang hanya ditambal seadanya. Kadang pakai triplek, kadang juga hanya kalender atau poster artis tanah air.
Ketika dalam posisi seperti itu, sungguh pergolakan batin yang luar biasa jika harus membuka kamera. Bukannya malah fokus mengikuti kegiatan, bisa-bisa yang aku lakukan adalah menyelamatkan diri dari rasa malu dengan cara menjaga sudut sorot kamera agar tidak menampakkan rumahku yang tidak layak tersebut.
Sekali lagi, kita ada di badai yang sama namun dengan kapal berbeda. Orang-orang yang berkecukupan, punya gaji besar dan bisa WFH di tempat yang layak, tentu mudah bersyukur, menganggap pandemi sebagi sentilan Tuhan agar lebih banyak menghabiskan waktu untuk keluarga. Sedang untuk mereka yang tidak punya ruang tamu apalagi perangkat yang memadai, WFH, SFH atau webinar adalah siksaan tambahan. Si miskin makin merana karena harus menambah hal-hal lagi untuk dipikirkan.
Di sinilah aku belajar untuk mulai memahami mengapa ada orang yang dengan sengaja mematikan audio ataupun kamera mereka. Jangan-jangan, sudah mampu mendengarkan apa yang diucapkan pembicara saja merupakan perjuangan tersendiri.
Pun ketika ada sekelompok orang yang iri kepada para pekerja yang bisa tetap bekerja, dan lebih penting lagi digaji, di saat situasi terasa serba terbatas seperti ini, aku juga mulai mencoba memahaminya.
Aku juga mulai berpikir, bagaimana dengan mereka yang tidak terjangkau teknologi. Hanya punya satu hape untuk sekeluarga? Apa yang harus mereka lakukan ketika harus mencetak materi berlembar-lembar setiap harinya? Bukankah itu berarti tambahan beban, tambahan biaya?
Terbersit dalam pikiranku untuk menjadi kaya raya dan kemudian memberikan hape untuk seluruh rakyat Indonesia yang membutuhkannya. Atau laptop kalau perlu. Ingat, negeri ini bisa kehilangan satu generasi jikalau hal-hal yang terdengar remeh seperti ini tetap diacuhkan.
Secara gampang, mari tidak berdebat dan meyakini bahwa seluruh kekayaan planet bumi adalah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, tetapi tidak akan cukup untuk memuaskan orang serakah.
Keserakahan adalah kunci dari ketimpangan sosial, walau tentu saja ada banyak faktor penyerta lainnya. Apakah andai seluruh kekayaan planet ini dibagi sama rata, kemiskinan akan musnah? Bisa jadi, tetapi siapa yang mau melakukannya? Tidak semua orang rela berbagi.
Alhasil aku teringat sebuah kalimat, bahwa pelaut yang tangguh dibentuk di lautan yang ganas. Semoga momen yang sulit seperti ini akan membuat masyarakat kita menjadi semakin tangguh dan berdaya. Amin.
Posting Komentar untuk "Dilema WFH, Mematikan Video Karena Rumahnya Jelek"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.