Memandang Masa Depan
Ada dua cara memandang masa depan, yakni secara positif maupun negatif. Keduanya sama-sama diperlukan namun dengan proporsi tertentu dan tujuan yang baik.
Siapa sangka akhirnya ditemukan tas yang membuat pemakainya bisa terbang. Atau drone super canggih sehingga kita bisa memata-matai pasangan saat sedang selingkuh. Semua itu luar biasa dan seiring berjalannya waktu, penemuan-penemuan sejenis akan menjadi lebih hebat lagi. Memang sains dan teknologi adalah senjata dahsyat di tangan umat manusia.
Apa ada yang salah dari itu semua? Akhirnya kembali pada premis pertama, bahwa ada dua cara memandang masa depan, suatu masa yang belum tiba.
Era robot segera datang dan mari menyambutnya dengan sukacita. Itu berarti manusia tidak perlu harus sesusah dan semenderita sebelumnya. Akan ada banyak pekerjaan besar yang terotomatisasi maupun dialihtugaskan kepada robot dan mesin.
Meski demikian, wajar bila ada yang khawatir. Jelas beberapa pekerjaan akan musnah. Lihat saja, banyak orang main media sosial dan semuanya itu mulai menggerogoti kewibawaan televisi dan radio. Masyarakat yang muak pada opsi yang disediakan perusahaan penyiaran akhirnya memilih menjadi penyiar sendiri lewat Youtube maupun Instagram.
Orang-orang jadi takut periuk nasinya digantikan robot atau mengalami otomatisasi oleh mesin. Dengan dua orang insinyur dan beberapa asistennya, akan ada banyak mesin tercipta yang mampu menggantikan atau setara dengan, misalnya, tugas 1000 pekerja. Tentu ini kabar baik bagi pengguna jasa si mesin tapi petaka bagi kaum pekerjanya.
Masa Depan |
Tapi mau bagaimana lagi, zaman baru sudah tiba. Mau menolak itu semua tentu sebuah kerugian. Alhasil bagi sebagian orang, hal ini semakin memberatkan. Kompetisi mencari lapangan pekerjaan semakin gila-gilaan.
Padahal, teknologi sebenarnya juga memudahkan kita mencari pekerjaan. Ada banyak cara mendapatkan pekerjaan dengan mudah dan jauh lebih gampang timbang beberapa tahun lalu. Lewat LinkedIn misalnya. Seseorang hanya perlu bersurat melalui email dan interview secara daring. Peran orang dalam yang meresahkan bisa dikurangi. Atau sekalian dibinasakan.
Tapi tentu tidak semua orang pada akhirnya memiliki argumen yang sama. Siapa saja yang pada akhirnya mendapatkan keuntungan dari zaman robot ini? Apakah ini hanya akan melanggengkan penindasan manusia atas manusia? Atau sebagian manusia plus robot atas manusia lainnya?
Penindasan akan terus ada. Karl Marx sudah kalah total. Kapitalisme nyatanya masih tetap hidup dan bahkan Cina juga memanfaatkan bersamaan dengan totalitarianisme khas komunis.
Kapitalisme akan berkembang makin gila-gilaan dengan adanya zaman robot ini. Aku sendiri memprediksi, tenaga kerja akan menjadi semakin murah. Kenapa? Karena mereka harus mau bersaing dengan mesin. Ini akan dimulai di negara dunia ketiga, bukan negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya.
Indonesia akan terancam makin terbelakang jika tidak segera berbenah. Ada banyak hal dalam dunia pendidikan yang menjadi inti dari masalah ini. Kenapa masyarakat Indonesia tidak segera sejajar dengan Singapura dan Australia? Karena kita masih hidup di dalam sistem yang seperti ini. Sistem yang tidak bisa mempersiapkan rakyat untuk berkompetisi. Sistem yang melanggengkan budaya premanisme, korupsi, kemalasan, penindasan atas minoritas dan inferioritas luar biasa.
Selama masih ada guru-guru yang tidak berkompeten dan rakyat diadu domba demi kepentingan tertentu, selama itu pula kita akan menjadi sumber tenaga kerja murah. Tenaga kerja yang sangat tidak layak digaji besar. Kenapa? Karena tidak terampil. Orang-orang seperti itu akan berhadapan dengan kelas borjuis plus mesin.
Selain masalah diskriminasi penerima benefit kemajuan teknologi, kita juga harus makin skeptis mengenai kelangsungan sumber daya alam. Kembali lagi, yang pertama-tama akan rusak adalah alam milik negara-negara dunia ketiga yang lemah secara diplomatik maupun militer. Alhasil yang lemah akan mengemis kepada yang kaya dan kuat.
Tentu ini menyedihkan SDM dan SDA dihancurkan sedemikian rupa demi langgengnya borjuasi. Tetapi itulah hukum yang tidak mungkin dilawan lagi. Perlawanan harus terjadi secara individu. Pembebasan atas belenggu kemiskinan tidak bisa mengandalkan sebuah partai politik, tokoh kharismatik ataupun pemerintah. Jika seseorang merasa tertindas karena bodoh, maka sebaiknya segera belajar. Jika ia tertindas karena miskin, maka bekerja keraslah dan ketahui cara jadi kaya. Sekali lagi, perjuangan sejati adalah urusan per-individu. Terdengar tidak populis memang tapi ini kenyataan.
Memang pada idealnya lahir gerakan kepeloporan untuk bisa memimpin semua orang agar bisa mengalami transformasi sosial secara menyeluruh.
Posting Komentar untuk "Memandang Masa Depan"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.