Ada Udang Di Balik Medsos
Dunia baru sudah terbit, layaknya mentari di pagi hari. Semua insan ramai-ramai menyambutnya. Inilah sesuatu yang diramalkan banyak orang dari dulu, ketika pasar kehilangan keramaiannya dan orang saling tidak bertegur sapa.
Untuk apa capek-capek menawar dan harus terpapar debu, terik (dan yang terbaru) virus, jika kita bisa memesan segalanya melalui peranti elektronik yang umum disebut gadget. Mulai dari baju rancangan desainer terkenal hingga celana dalam grosiran.
Mengapa pula susah-susah bertandang ke rumah teman, tetangga atau relasi, jika lewat aplikasi perpesan maupun surat elektronik kita bisa mengirim emoji, dokumen hingga bunga-bunga cinta tanpa ada satu orangpun tahu.
Inilah dunia baru itu. Sebuah kondisi di mana manusia takluk kepadanya. Baik yang aktif terlibat maupun yang sebenarnya mati-matian menolak dan berjuang mempertahankan konvensionalisme.
Aku mengenal seseorang yang keukeuh tak mau punya smartphone. Dari muda hingga almarhum, dirinya bangga akan cara hidupnya dan bagaimana ketegarannya setia pada nilai-nilai yang ia puja. Awalnya tak masalah. Namun makin ke sini makin runyam. Ia marah tak pernah lagi dapat surat kumpulan.
Alasannya sang penanggung jawab sudah mengirim jadwal dan menunjuk tuan rumah lewat grup Whatsapp. Ia keki ketika harus pergi ke ibukota naik sepur. Untung anaknya berhasil menyadarkan bahwa memesan lewat aplikasi jauh lebih enak serta besar peluang mendapatkan tiket daripada harus pagi-pagi pergi ke stasiun.
Dalam bahasa yang satir, ini mirip peribahasa jamane jaman edan, ora melu edan ora keduman. Jaman sudah gila, tidak ikut gila tidak akan mendapat bagian. Tentu jaman digital bukan jaman edan. Dan kata yang tepat bagi orang yang mampu memanfaatkan teknologi bukanlah edan, tapi jenius.
Pada saat itu negara dalam bahaya. Pabrik-pabrik gulung tikar, rupiah hancur sehancur-hancurnya, roda ekonomi terlepas dari as yang menopangnya, pemutusan hubungan kerja di mana-mana, dan rasa-rasanya mendapatkan kerjaan sangatlah susah.
Di bidang politik, untuk pertama kalinya sejak era orde baru berkuasa, Indonesia punya 48 partai politik peserta pemilu. Gesekan antar partai di beberapa daerah berujung maut. Beberapa partai juga mengalami distraksi dan perpecahan yang membuat keadaan gaduh. Manuver politik dari para politikus membuat bingung grass root.
Tidak cukup dihajar dari segi moneter dan politik, akhirnya negara kita tercinta mengalami krisis identitas. Orang-orang mempertanyakan Pancasila yang selama ini seperti sesuatu yang sangat sakral. Bukan hanya itu, ide tentang mengubah bentuk negara, bahkan Undang Undang Dasar menggema. Aku masih kecil saat itu, jadi tak akan kubahas lebih lanjut. Walau demikian, getaran kegalauan masal menghinggapi banyak warga bangsa, yang mana juga membentuk pemikiranku dan mungkin mereka yang seangkatan.
Apa hubungannya prahara 98 dengan media sosial? Tidak ada, setidaknya sampai saat ini. Hanya saja andai saat itu sudah ada metode untuk menggerakkan massa melalui broadcast serta munculnya aplikasi sosial yang bisa menyampaikan hoax kepada jutaan warga bangsa dengan kecepatan melampaui kecepatan cahaya, mungkin keadaan akan jauh lebih mengerikan.
Perkembangan teknologi menjadi sedikit 'menakutkan' ketika pada akhirnya menyentuh batasan-batasan tradisional yang kadung dipercaya tidak boleh dilewati oleh siapapun : membangun koloni di bulan, mengembangkan teknologi kloning, hingga penggunaan alat kontrasepsi.
Akhirnya semua diperuncing dengan opini-opini yang saling tumpang tindih, berkelindan, menggelinding kesana kemari dalam bentuk artikel viral, pesan berantai atau gambar-gambar editan yang menghujani media sosial.
Berbeda dengan koran jaman old, seseorang tidak perlu susah-susah menyewa editor atau penyunting untuk mengkurasi, menganalisa dan mengedit sebuah status Facebook, caption Instagram atau utas Twitter. Semuanya seperti anak panah yang dilepaskan, tetapi bedanya, begitu terlepas, itu bisa meng-copy dirinya sendiri hingga menjadi tak terhingga.
Inilah zaman baru itu. Manusia bisa merasa sudah jadi yang paling pintar begitu membaca artikel tentang bagaimana dunia ini bekerja, seperti apa sistem-sistem di balik semua ini, dan keberadaan tangan-tangan tak terlihat yang mampu mengendalikan apapun, termasuk letak sikat gigi di kamar mandi kita.
Tanpa menelaah, membandingkan fakta terlebih bertanya pada orang lain, orang bisa-bisa mendefiniskan cerita-cerita itu sebagai sebuah kebenaran lalu kemudian merasa mendapat pencerahan baru, merasa menjadi insan cerdas dan memandang remeh orang lain yang tidak sehaluan dengan apa yang mereka baca.
Tidak hanya pada hewan buas atau perampok, orang juga harus berhati-hati pada apa yang mereka baca. Seperti kata pepatah modern, kebohongan yang diulang-ulang bisa terasa seperti sebuah kebenaran.
Orang kini bisa memiliki banyak opsi sumber informasi untuk dikonsumsi. Seperti yang dijelaskan Carolina Leonard dalam esai yang ditulisnya, para penikmat media sosial bisa terjebak pada kondisi filter bubble, yang mana mereka pada akhirnya hanya mau percaya, tertarik dan yakin pada info-info yang sesuai dengan apa yang mereka mau percayai.
Semisal orang percaya bahwa negara Islandia itu sebenarnya tidak pernah ada dan hanyalah omong kosong dari orang-orang tertentu saja. Alih-alih mempelajari lebih lanjut mata pelajaran geografi atau membuka Google Earth, mereka akan menyibukkan diri membaca situs-situs yang mempertebal keyakinan mereka, seberapapun konyolnya itu. Kalau sudah begini, masalah jadi runyam.
Manusia cerdas adalah manusia yang selalu menggunakan otaknya untuk berpikir. Kita percaya setelah sekian masa evolusi, ras kita adalah bukan main cerdasnya. Maka jangan mau diberi udang yang tersembunyi di balik madu. Mari menikmati media sosial dengan gembira, penuh kreativitas dan bertujuan untuk mempererat persaudaraan tanpa memandang perbedaan. Jikalau ada yang ingin bikin rusuh timpuk pakai batu, lalu bersama ambil udangnya dan kita bakar sambil diberi sedikit madu. Terdengar sangat lezat.
Untuk apa capek-capek menawar dan harus terpapar debu, terik (dan yang terbaru) virus, jika kita bisa memesan segalanya melalui peranti elektronik yang umum disebut gadget. Mulai dari baju rancangan desainer terkenal hingga celana dalam grosiran.
Mengapa pula susah-susah bertandang ke rumah teman, tetangga atau relasi, jika lewat aplikasi perpesan maupun surat elektronik kita bisa mengirim emoji, dokumen hingga bunga-bunga cinta tanpa ada satu orangpun tahu.
Media sosial telah mengubah segalanya. Dari cara politikus berkampanye hingga cara anak muda menembak gebetannya. Dari cara memesan tiket hotel sampai cara mengerjakan ujian nasional. Semuanya telah berubah.
Inilah dunia baru itu. Sebuah kondisi di mana manusia takluk kepadanya. Baik yang aktif terlibat maupun yang sebenarnya mati-matian menolak dan berjuang mempertahankan konvensionalisme.
Aku mengenal seseorang yang keukeuh tak mau punya smartphone. Dari muda hingga almarhum, dirinya bangga akan cara hidupnya dan bagaimana ketegarannya setia pada nilai-nilai yang ia puja. Awalnya tak masalah. Namun makin ke sini makin runyam. Ia marah tak pernah lagi dapat surat kumpulan.
Alasannya sang penanggung jawab sudah mengirim jadwal dan menunjuk tuan rumah lewat grup Whatsapp. Ia keki ketika harus pergi ke ibukota naik sepur. Untung anaknya berhasil menyadarkan bahwa memesan lewat aplikasi jauh lebih enak serta besar peluang mendapatkan tiket daripada harus pagi-pagi pergi ke stasiun.
Media Sosial dan Masyarakat |
Dalam bahasa yang satir, ini mirip peribahasa jamane jaman edan, ora melu edan ora keduman. Jaman sudah gila, tidak ikut gila tidak akan mendapat bagian. Tentu jaman digital bukan jaman edan. Dan kata yang tepat bagi orang yang mampu memanfaatkan teknologi bukanlah edan, tapi jenius.
Krisis Multidimensi
Salah satu frasa paling terkenal yang pernah hype di masa reformasi adalah krisis multidimensi. Indonesia tidak hanya digepuk krismon alias krisis moneter saja, tetapi juga krisis politik dan bahkan krisis identitas.Pada saat itu negara dalam bahaya. Pabrik-pabrik gulung tikar, rupiah hancur sehancur-hancurnya, roda ekonomi terlepas dari as yang menopangnya, pemutusan hubungan kerja di mana-mana, dan rasa-rasanya mendapatkan kerjaan sangatlah susah.
Di bidang politik, untuk pertama kalinya sejak era orde baru berkuasa, Indonesia punya 48 partai politik peserta pemilu. Gesekan antar partai di beberapa daerah berujung maut. Beberapa partai juga mengalami distraksi dan perpecahan yang membuat keadaan gaduh. Manuver politik dari para politikus membuat bingung grass root.
Tidak cukup dihajar dari segi moneter dan politik, akhirnya negara kita tercinta mengalami krisis identitas. Orang-orang mempertanyakan Pancasila yang selama ini seperti sesuatu yang sangat sakral. Bukan hanya itu, ide tentang mengubah bentuk negara, bahkan Undang Undang Dasar menggema. Aku masih kecil saat itu, jadi tak akan kubahas lebih lanjut. Walau demikian, getaran kegalauan masal menghinggapi banyak warga bangsa, yang mana juga membentuk pemikiranku dan mungkin mereka yang seangkatan.
Apa hubungannya prahara 98 dengan media sosial? Tidak ada, setidaknya sampai saat ini. Hanya saja andai saat itu sudah ada metode untuk menggerakkan massa melalui broadcast serta munculnya aplikasi sosial yang bisa menyampaikan hoax kepada jutaan warga bangsa dengan kecepatan melampaui kecepatan cahaya, mungkin keadaan akan jauh lebih mengerikan.
Tidak hanya pada hewan buas atau perampok, orang juga harus berhati-hati pada apa yang mereka baca. Seperti kata pepatah modern, kebohongan yang diulang-ulang bisa terasa seperti sebuah kebenaran.
Media Sosial dan Zaman Baru
Tidak dapat dipungkiri, sama seperti krisis 98, media sosial telah mengubah segalanya. Dari cara politikus berkampanye hingga cara anak muda menembak gebetannya. Dari cara memesan tiket hotel sampai cara mengerjakan ujian nasional. Semuanya telah berubah.Perkembangan teknologi menjadi sedikit 'menakutkan' ketika pada akhirnya menyentuh batasan-batasan tradisional yang kadung dipercaya tidak boleh dilewati oleh siapapun : membangun koloni di bulan, mengembangkan teknologi kloning, hingga penggunaan alat kontrasepsi.
Akhirnya semua diperuncing dengan opini-opini yang saling tumpang tindih, berkelindan, menggelinding kesana kemari dalam bentuk artikel viral, pesan berantai atau gambar-gambar editan yang menghujani media sosial.
Berbeda dengan koran jaman old, seseorang tidak perlu susah-susah menyewa editor atau penyunting untuk mengkurasi, menganalisa dan mengedit sebuah status Facebook, caption Instagram atau utas Twitter. Semuanya seperti anak panah yang dilepaskan, tetapi bedanya, begitu terlepas, itu bisa meng-copy dirinya sendiri hingga menjadi tak terhingga.
Inilah zaman baru itu. Manusia bisa merasa sudah jadi yang paling pintar begitu membaca artikel tentang bagaimana dunia ini bekerja, seperti apa sistem-sistem di balik semua ini, dan keberadaan tangan-tangan tak terlihat yang mampu mengendalikan apapun, termasuk letak sikat gigi di kamar mandi kita.
Tanpa menelaah, membandingkan fakta terlebih bertanya pada orang lain, orang bisa-bisa mendefiniskan cerita-cerita itu sebagai sebuah kebenaran lalu kemudian merasa mendapat pencerahan baru, merasa menjadi insan cerdas dan memandang remeh orang lain yang tidak sehaluan dengan apa yang mereka baca.
Tidak hanya pada hewan buas atau perampok, orang juga harus berhati-hati pada apa yang mereka baca. Seperti kata pepatah modern, kebohongan yang diulang-ulang bisa terasa seperti sebuah kebenaran.
Kembali Kepada Nalar
Bukan lagi hanya menjadi media menawarkan hasil masakannya, memamerkan nilai ujian Bahasa Inggris anak-anaknya atau menunjukkan bakat terpendam sebagai seorang fotografer, media sosial telah berkembang menjadi dunia tersendiri.Orang kini bisa memiliki banyak opsi sumber informasi untuk dikonsumsi. Seperti yang dijelaskan Carolina Leonard dalam esai yang ditulisnya, para penikmat media sosial bisa terjebak pada kondisi filter bubble, yang mana mereka pada akhirnya hanya mau percaya, tertarik dan yakin pada info-info yang sesuai dengan apa yang mereka mau percayai.
Semisal orang percaya bahwa negara Islandia itu sebenarnya tidak pernah ada dan hanyalah omong kosong dari orang-orang tertentu saja. Alih-alih mempelajari lebih lanjut mata pelajaran geografi atau membuka Google Earth, mereka akan menyibukkan diri membaca situs-situs yang mempertebal keyakinan mereka, seberapapun konyolnya itu. Kalau sudah begini, masalah jadi runyam.
Udang Bakar Madu
Ketika kecil, Bu Guru pernah memberikan sebuah pepatah, ada udang di balik batu. Kenapa demikian? Apakah udang takut sama hantu sehingga harus bersembunyi di balik batu? Tentu saja tidak. Pepatah itu berarti ada maksud tersembunyi dari sesuatu.Manusia cerdas adalah manusia yang selalu menggunakan otaknya untuk berpikir. Kita percaya setelah sekian masa evolusi, ras kita adalah bukan main cerdasnya. Maka jangan mau diberi udang yang tersembunyi di balik madu. Mari menikmati media sosial dengan gembira, penuh kreativitas dan bertujuan untuk mempererat persaudaraan tanpa memandang perbedaan. Jikalau ada yang ingin bikin rusuh timpuk pakai batu, lalu bersama ambil udangnya dan kita bakar sambil diberi sedikit madu. Terdengar sangat lezat.
Posting Komentar untuk "Ada Udang Di Balik Medsos"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.