Apa Hal yang Makin Sudah Ditemui Sekarang?
Pertama-tama ketenangan. Saya
anak kota yang menghabiskan masa kecil hingga remaja di desa. Saat saya pindah
ke kampung itu, belum ada listrik, internet dan para spekulan tanah.
Hidup begitu sederhana. Pulang sekolah,
makan siang, les, main ke rumah temen untuk nonton TV lalu kembali ke rumah,
membantu ibu mempersiapkan lampu minyak dan kelambu.
Semua begitu simpel, nikmat dan tenang.
Tak ada warkop yang membunyikan musik yang menampilkan para artis yang
menyayikan lagu orang lain agar terkenal, atau musik-musik aneh yang ritmenya
diulang-ulang tanpa satupun ucapan penyanyinya bisa dinikmati.
Juga belum ada para tetangga yang
teriak-teriak memekakkan telingga. Menggosip hasil kerja orang lain maupun
menyinyir harga yang naik begitu cepat tapi dirinya ogah mencari solusi
setidaknya untuk dirinya sendiri.
Semua begitu tenang. Nyaman. Sunyi. Sendu.
Nikmat.
Bunyi-bunyi manusia berhenti ketika
matahari terbenam. Udara kembali suci tanpa sepatah katapun menyeruak
mengkangkangi langit dan memperkosa telinga. Sunyi. Sepi. Indah. Syahdu. Hanya
ada jangkrik-jangkrik dan sesekali kucing liar yang saling menumpahkan birahi.
Lalu populasi meledak. Dari pagi hingga
pagi udara penuh bunyi dan kata-kata. Sunyiku pergi. Nikmatku menghilang.
Kedua adalah kepercayaan. Dulu
angkot hanya segelintir. Mengangkut manusia-manusia berhati baja yang ingin
bekerja. Para proletar perkasa yang menggerakkan roda negara, menyumbang pajak
ini dan itu walau hidupnya tetap mengenaskan.
Pada waktu itu rata-rata abang angkot
terasa seperti malaikat, menolak cuan karena aku masih berseragam. 'Sekolah
yang benar, lae! Agar kelak hidupmu sentosa!' Uangpun bisa masuk celengan
bagong buat beli poster AC Milan, Liverpool atau timnas Jerman.
Ketika harus pulang telat tak sedikitpun
khawatir. Akan selalu ada kakak dan om yang naik motor berhenti memberikan
tumpangan. Puji Tuhan kaki selamat dari kram karena berjalan di atas aspal
sore.
Ketika haus habis jelajah kota, tak perlu
merogoh kocek. Rumah-rumah di kampung atau perumahan banyak yang menyediakan
kendi atau botol untuk minum setiap orang. Dua teguk saja jangan egois kau.
Mungkin setelah ini kakek penjual sapu atau bapak penyapu jalan juga butuh air.
Para marhaen luar biasa yang menjalankan hidup apa adanya.
Tapi itu dulu. Kini jarang kulihat ada
abang angkot menggratiskan anak sekolah. 'Anakku juga butuh uang buat sekolah,
jangan egois kau'. Mungkin itu jerit mereka. Alasan logis.
Juga hampir tak ada yang berhenti memberi
tumpangan. Mungkin bukan egois, hanya takut dihajar massa karena dikira tukang
culik. Atau bisa juga takut. Para begal makin laknat. Memanfaatkan belas
kasihan lalu kemudian disikat. Beruntung yang hanya dirampok. Banyak yang mati
atau dilecehkan sebelum akhirnya dirampas motornya.
Haus? Rogoh minimal 5 ribu. 3 ribu buat
air mineral, 2 ribu untuk jasa parkir. Indonesia memang tanah air beta. Tanah
kusewa, air ku……… ah sudahlah.
Jangankan mendekati rumah penduduk, untuk
sekedar main ke rumah kawan harus melewati satpam, portal dan polisi tidur. Ini
pemukiman atau kamp konsentrasi? Nampaknya cara pandang masyarakat mengenai rumah
dan kenyamanan sudah berbeda jauh.
Dulu orang pingin cari rumah yang banyak
jalan tembusannya. Sekarang dikurung seperti di penjara. Sangat menyedihkan.
Ah sudahlah. Aku tak mau dikata terlalu
lembek, meromantisasi masa lalu. Tapi memang seperti itu kehidupanku dahulu.
Sekarang untuk menulis laporan saja harus
melipir ke kafe sambil pasang headset. Sunyiku pergi. Bunyi tak lagi sembunyi,
namun terang-terangan meneror dan mengkangkangi udara.
Menyendiri |
Entahlah. Salah sendiri hidup.
Terima kasih sudah membaca.
Posting Komentar untuk "Apa Hal yang Makin Sudah Ditemui Sekarang? "
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.