Melawan Pemaknaan Agama dan Hukum Secara Sewenang-wenang
Sebenarnya pergolakan
yang selalu terjadi di dunia ini hanya berujung pada kepentingan. Entah itu
yang mengatasnamakan agama, negara ataupun kelompok, semuanya punya goal yang
sama, yaitu mendapatkan keuntungan.
Lawan kelompok intoleran! |
Salah satu upaya yang
sering diambil dalam menegakkan kepentingan kelompok atau seseorang, adalah
dengan memenangkan perdebatan seputar definisi. Seorang pemenang adalah mereka
yang berhasil mengambil hak untuk mendefinisikan berbagai hal yang tentu saja
berujung pada kepentingannya. Dengan seenaknya mereka melabeli orang lain sebagai ateis, kafir, komunis, dan bahkan penjahat.
Sebagai contoh definisi
Jerman yang diagung-agungkan Hitler adalah sebuah negara untuk bangsa Arya yang
terbentang luas hingga melanggar batas-batas sah tetangganya, Polandia
misalnya.
Definisi Hitler
jelas-jelas merupakan sebuah arogansi dan pelanggaran. Namun faktanya Polandia
justru harus bertekuk lutut serta kehilangan banyak wilayah, setidaknya untuk
sementara.
Hal yang sama juga
terjadi ketika pergolakan fisik antara para raja Katolik dan pangeran Protestan
yang membakar Eropa sedemikian membara. Semua serasa punya hak untuk
mendefinisikan injil seturut dengan pandangan mereka dan mengangap pendapat
orang lain adalah sebuah hal yang salah.
Di sinilah seharusnya
menjadi refleksi bagi umat manusia. Siapakah yang seharusnya memiliki hak untuk
melakukan definisi? Menetapkan sesuatu? Menterjemahkan hukum? Menguraikan
agama?
Di Indonesia, kasus Ahok
yang sempat heboh juga bisa dikaitkan dengan ini semua. Bagaimana akhirnya
hukum menentukan ucapan mantan Gubernur Jakarta itu sebagai sebuah pelanggaran
serius yang berakibat hukuman penjara. Walau saat ini Ahok jadi salah satu tokoh paling potensial di pemilu 2024 nanti.
Selanjutnya, kasus
penutupan dan penyegelan gereja yang bahkan sudah mengantungi IMB juga
merupakan contoh memaknai hukum secara sewenang-wenang atas dasar egoisme
sektarian dan tendensi yang condong tunduk pada kemauan mayoritas. Uniknya ada orang yang memaksa umat Kristen untuk bersyukur karena tidak bernasib seperti di Syria.
Indonesia harus berani
melangkah dari sebuah negara yang abu-abu menjadi institusi yang tegas
menegakkan hukum. Negara harus berani bertindak. Jika tidak maka warga bangsa
yang tertekan dan tersudut itu secara sadar atau tidak akan mempertanyakan
fungsi dari negara. Mereka akan bertanya dimana kehadiran negara yang
seharusnya melindungi mereka.
Memang di tataran
kekuasaan dan apalagi dimensi politik, yang merah bisa jadi kuning, yang kanan
bisa jadi kiri. Semua dinamis atau lebih tepatnya pragmatis. Keseimbangan
politik di negeri ini terasa tidak ada gunanya lagi. Fungsi eksekutif dan
legislatif terlihat beberapa kali tumpang tinding. Koalisi dan aliansi yang
dibangun juga bukan berdasarkan ideologis atau memperhatikan perasaan
konstituen, melainkan lebih kepada jumlah kursi di kabinet dan menteri.
Untuk itu, sebenarnya
perlu ada sebuah partai politik yang kuat yang kembali menegakkan fungsi negara
sebagai pemberi kepastian hukum, penjaga ketertiban dan melawan
kelompok-kelompok yang seenaknya melakukan pemaknaan hukum, agama, dan
undang-undang demi kepentingan mereka saja.
Partai-partai yang ada
sudah bisa dibilang gagal, berkaca dari semua kasus intoleransi dari kelompok radikal dewasa ini. Rakyat
butuh partai yang mampu bertindak sebagai pelopor menuju kedewasaan berpikir
dan mengembalikan akal sehat yang tercabik-cabik melalui opini-opini aneh yang
terus digaungkan di media sosial maupun televisi oleh para elit.
Partai pelopor ini
nantinya harus diisi oleh orang-orang cakap dan tulus yang bersedia berkorban
jiwa raga untuk mengembalikan arah pembangunan dan kewarasan rakyat. Mereka
harus bersih dari koneksi dengan para elit yang sekarang agar tidak ada beban
sejarah yang memberatkan ketika nanti mengemban amanat rakyat.
Namun apakah itu bisa
terjadi? Nampaknya sulit. Elit politik sudah nyaman dengan kedudukan mereka dan
pasti tidak ingin semua kemewahan itu hilang. Partai yang bersifat idealis
nantinya justru akan menjadi musuh bersama.
Lantas bagaimana
memurnikan kesadaran rakyat mengenai siapa yang sebenarnya berhak
mendefinisikan hukum, undang-undang, agama dan bahkan ideologi? Apakah
institusi pendidikan? Tidak juga karena dunia pendidikan di Indonesia masih
jauh dari kata ideal. Banyak hal yang harus dibenahi sedang visi dan misi tiap
tahunnya terasa tidak jelas.
Akhirnya kita hanya bisa
berharap pada Tuhan agar masa pencerahan seperti yang sudah dinikmati Eropa,
Amerika, Jepang, dan negara-negara maju lainnya juga diturunkan di Indonesia.
Tanpa sebuah masa pencerahan, negeri ini akan terus sibuk mendefenisikan
dirinya sendiri. Sibuk saling cakar-cakaran. Saling segel, bakar, caci, dan
serang. Sedang sumber daya alamnya semakin digerogoti. Setelah itu, yang
tersisa hanyalah penyesalan luar biasa.
*****************************************
Terima kasih sudah membaca. Terus dukung kami dalam menciptakan berbagai konten menarik untuk Anda. Masih terkait tentang agama, baca juga review film Save Me, dimana agama dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Baca juga:
Posting Komentar untuk "Melawan Pemaknaan Agama dan Hukum Secara Sewenang-wenang"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.