Menikmati Drama Penunjukkan Kabinet Baru Jokowi
Hari ini, Rabu 23 Oktober 2019 Presiden Jokowi akan melantik para menterinya. Hal ini sekaligus sebagai titik puncak pamungkas untuk mengakhiri segala spekulasi, apakah bung ini akan menjadi menteri anu, akankah si fulan akan menduduki jabatan ini.
Hal menarik yang tentu saja menyita perhatian adalah ikutsertanya Gerindra dalam kabinet. Cebong dan kampret, dipersilahkan untuk jantungan dan mendaftar ke RSJ terdekat.
Masih ingat di benak bangsa ini, bagaimana pertarungan berdarah-darah pra dan paska pemilu. Dua kubu saling serang, bahkan mayatpun jadi korban, harus dipindah ke kuburan lain.
Lantas bagaimana tuan dan nyonya yang sudah terlanjur baku hantam ini menerima kenyataan bahwa Gerindra akhirnya bergabung dengan Jokowi?
Macam-macam tentu saja.
Ada yang kemudian malu bukan kepalang, ada yang tetap reaksioner dengan caranya sendiri dan justru berbalik menyerang junjungannya.
Apapun itu, ada yang akhirnya sadar bahwa menjadi wong cilik tidak enak. Terlalu fanatik itu tidak sehat. Dan politik harusnya dinikmati sebagai drama.
Segala hal tentang politik seharusnya tidak boleh mempengaruhi bagaimana hubungan kita terhadap tetangga, teman kantor, sahabat baik, konco ngopi, ataupun keluarga sendiri.
Kalau sampai anda 'menjual' persahabatan dan kekeluargaan demi 'menyenangkan' sosok yang anda puja, maka siaplah sakit hati. Politik itu rentan mengalami turbulensi. Hari ini Pak Codet ngomong X, sejam kemudian orang yang sama bisa berbalik mengatakan Y.
Drama berkualitas.
Salah satu kekuataan K-Drama atau drakor adalah menyuguhkan konflik yang mampu mengaduk-aduk pemirsa setianya. Jadi jangan heran walau terdiri dari 40 episode, tetap ditonton dengan penuh hikmat.
Nah, harusnya politik bisa dinikmati dengan cara yang sama. Bisa bikin kita awet muda, namun tetap tersenyum dan makin cerdas.
Sayangnya hal ini susah untuk bisa dicerna masyarakat, karena begitu dalamnya pembelahan yang terjadi. Segmentasi yang ada di masyrakat terlampau brutal dan banal. Nalar kalah oleh perasaan dan ideologi yang nirmakna menjadi seolah-olah komando untuk menentukan hidup matinya seseorang.
Kita butuh mental sebagai seorang penonton yang baik. Tidak perlu ikut campur jalanannya cerita, biar mereka-mereka saja yang bingung untuk berakting. Jika jelek, matikan saja tivinya. Beres, khan?
Namun sayangnya di panggung politik, drama yang ada jarang yang mampu mencerahkan masyarakat. Adegium dan demagogi yang muncul yang disemprotkan secara tak bertanggung jawab dengan tujuan untuk mencari keuntungan semata.
Merekatkan masyarakat.
Indonesia terlalu heterogen, itu benar. Namun bukankah Amerika Serikat jauh lebih heterogen. Sepasukan marinir AS bisa saja terdiri dari keturunan Jerman, Italia, China, Lebanon, Ghana dan Polandia. Tetapi mereka mampu bersatu padu menjalankan misi dan berhasil.
Belum lagi dalam kabinet dan jajaran penting di pemerintahan. Ada orang Hispanik, Muslim, Ateis, Keturunan Vietnam, anggota sekte penyembah Pizza terbang, atau Afro-Amerika. Wow banget mereka bisa menikmati semua drama dengan baik.
Lalu bagaimana dengan masyarakat kita? Susah Ferguso! Kita kehilangan Gus Dur terlalu cepat dan penggantinya juga tak kunjung muncul. Lalu siapa yang bakal mau jadi perekat?
Jawabannya adalah kita sendiri. Semoga dengan kabinet baru ini, masyarakat Indonesia bisa kembali utuh dan saling bahu membahu. Walau jelas gelas yang sudah pecah tak akan bisa seperti semula walau direkatkan dengan lem sekuat apapun itu.
Hal menarik yang tentu saja menyita perhatian adalah ikutsertanya Gerindra dalam kabinet. Cebong dan kampret, dipersilahkan untuk jantungan dan mendaftar ke RSJ terdekat.
politikus |
Masih ingat di benak bangsa ini, bagaimana pertarungan berdarah-darah pra dan paska pemilu. Dua kubu saling serang, bahkan mayatpun jadi korban, harus dipindah ke kuburan lain.
Lantas bagaimana tuan dan nyonya yang sudah terlanjur baku hantam ini menerima kenyataan bahwa Gerindra akhirnya bergabung dengan Jokowi?
Macam-macam tentu saja.
Ada yang kemudian malu bukan kepalang, ada yang tetap reaksioner dengan caranya sendiri dan justru berbalik menyerang junjungannya.
Apapun itu, ada yang akhirnya sadar bahwa menjadi wong cilik tidak enak. Terlalu fanatik itu tidak sehat. Dan politik harusnya dinikmati sebagai drama.
Segala hal tentang politik seharusnya tidak boleh mempengaruhi bagaimana hubungan kita terhadap tetangga, teman kantor, sahabat baik, konco ngopi, ataupun keluarga sendiri.
Kalau sampai anda 'menjual' persahabatan dan kekeluargaan demi 'menyenangkan' sosok yang anda puja, maka siaplah sakit hati. Politik itu rentan mengalami turbulensi. Hari ini Pak Codet ngomong X, sejam kemudian orang yang sama bisa berbalik mengatakan Y.
Drama berkualitas.
Salah satu kekuataan K-Drama atau drakor adalah menyuguhkan konflik yang mampu mengaduk-aduk pemirsa setianya. Jadi jangan heran walau terdiri dari 40 episode, tetap ditonton dengan penuh hikmat.
Nah, harusnya politik bisa dinikmati dengan cara yang sama. Bisa bikin kita awet muda, namun tetap tersenyum dan makin cerdas.
Sayangnya hal ini susah untuk bisa dicerna masyarakat, karena begitu dalamnya pembelahan yang terjadi. Segmentasi yang ada di masyrakat terlampau brutal dan banal. Nalar kalah oleh perasaan dan ideologi yang nirmakna menjadi seolah-olah komando untuk menentukan hidup matinya seseorang.
Kita butuh mental sebagai seorang penonton yang baik. Tidak perlu ikut campur jalanannya cerita, biar mereka-mereka saja yang bingung untuk berakting. Jika jelek, matikan saja tivinya. Beres, khan?
Namun sayangnya di panggung politik, drama yang ada jarang yang mampu mencerahkan masyarakat. Adegium dan demagogi yang muncul yang disemprotkan secara tak bertanggung jawab dengan tujuan untuk mencari keuntungan semata.
Merekatkan masyarakat.
Indonesia terlalu heterogen, itu benar. Namun bukankah Amerika Serikat jauh lebih heterogen. Sepasukan marinir AS bisa saja terdiri dari keturunan Jerman, Italia, China, Lebanon, Ghana dan Polandia. Tetapi mereka mampu bersatu padu menjalankan misi dan berhasil.
Belum lagi dalam kabinet dan jajaran penting di pemerintahan. Ada orang Hispanik, Muslim, Ateis, Keturunan Vietnam, anggota sekte penyembah Pizza terbang, atau Afro-Amerika. Wow banget mereka bisa menikmati semua drama dengan baik.
Lalu bagaimana dengan masyarakat kita? Susah Ferguso! Kita kehilangan Gus Dur terlalu cepat dan penggantinya juga tak kunjung muncul. Lalu siapa yang bakal mau jadi perekat?
Jawabannya adalah kita sendiri. Semoga dengan kabinet baru ini, masyarakat Indonesia bisa kembali utuh dan saling bahu membahu. Walau jelas gelas yang sudah pecah tak akan bisa seperti semula walau direkatkan dengan lem sekuat apapun itu.
Just saying thanks will not just be sufficient, for the fantasti c lucidity in your writing. I will instantly grab your rss feed to stay informed of any updates. Beyhadh Latest news
BalasHapus