Mengapa Orang Miskin Tetap Miskin?
Apa Anda pernah sedemikian miskin hingga tidak berani menyalakan kamera smartphone saat kuliah atau WFH dikarenakan begitu jeleknya kamar Anda. Bahkan lebih parah lagi, Anda tidak punya kamar.
Bukan Miskin, Tetapi Dimiskinkan
Ada kalimat yang mungkin menggelikan
tetapi sarat makna. Uang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang. Jika
dilihat, dalam kalimat tersebut memiliki dua hal yang sebetulnya saling
bertentangan tapi juga saling mendukung. Singkatnya, uang memang bukan segalanya,
karena uang ‘hanya’ selembar kertas atau sekeping logam yang dihiasi dengan
angka. Tapi masalahnya, tanpa uang, segalanya bakal sulit untuk dimiliki.
Bayangkan, untuk buang air kecil
saja, uang menjadi syarat. Begitu pula untuk menikmati sepiring nasi, membeli
baju apalagi yang namanya sekolah. Uang sudah menyatu dalam segala aspek
kehidupan manusia. Mau hidup, ya harus punya uang. Tapi sayangnya uang tidak
jatuh dari langit seperti embun di pagi hari. Uang juga bukan seperti udara
yang bisa dihirup setiap saat. Untuk mendapatkan uang, manusia harus bekerja.
Mitos rajin-malas
Karena begitu pentingnya uang,
manusia pun rela membanting tulang dan memerah keringat. Bahkan jika kita jeli,
ada banyak orang yang rela menukar waktu dan segala tenaga yang dimilikinya untuk
bekerja siang dan malam tanpa kenal batas untuk mendapatkan uang.
Begitu besarnya pengaruh uang,
sampai-sampai PBB menggunakannya sebagai alat untuk mengukur kemiskinan.
Akibatnya, muncullah dua gelar dari PBB, yakni manusia miskin dan manusia
sangat miskin. Sebutan miskin versi PBB adalah mereka yang
pendapatannya kurang dari $2. Sedang
gelar sangat miskin disematkan kepada mereka yang pendapatan per harinya di
bawah $1.
Kata miskin sendiri seperti sebuah
kata yang bagi beberapa orang memiliki nuansa horor tersendiri. Untuk itu tak
heran banyak orang tua memperingatkan anaknya agar tekun belajar, rajin bekerja
dan gemar menabung agar tidak miskin. Tapi sayangnya rajin belajar dan tekun
bekerja saja tidak cukup untuk mengenyahkan label kemiskinan. Apalagi gemar
menabung. Mana bisa menabung, jika yang ditabung tidak ada.
Lihat saja seorang tukang becak
umpamanya. Siang malam bekerja, tetapi pendapatannya juga segitu-segitu saja. Begitu pula para buruh tani, pekerja outsourcing, pembantu rumah tangga dan
kuli bangunan. Mereka rajin, tekun pula. Tetapi itu belum cukup untuk mengusir
hantu kemiskinan dalam hidup mereka.
Dari sini bisa kita lihat bahwa
ternyata kemiskinan bukan melulu masalah malas atau rajin bekerja. Terkadang
(atau mungkin seringnya) kemiskinan terjadi di luar kendali manusia. Kemiskinan seperti sebuah hal yang harus
diterima, bahkan ketika sudah bekerja keras sekalipun. Para ahli menyebut
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor di luar manusia sebagai kemiskinan
struktural.
Fenomena Kemiskinan |
Anda harus miskin, agar saya terus kaya
Lantas bagaimana bisa membebaskan
diri dari kemiskinan struktural seperti ini. Ternyata hal itu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Karena kemiskinan struktural ini sangat erat
kaitannya dengan struktur sosial yang telah terbentuk di masyarakat.
Walau mengaku sebagai negeri
Pancasila, nyatanya nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya di jalankan oleh
negeri ini, terutama sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia). Bukti yang paling membelalak
mata adalah adanya dua hal yang sangat ekstrem. Munculnya kelas-kelas dalam
masyarakat berdasarkan ekonomi, dan jurang pemisah yang luar biasa besarnya
antara kelas yang paling kaya dan kelas yang paling melarat.
Konglomerat, miliader, pengusaha
nasional, dan orang-orang berdompet tebal masuk dalam sebuah kelas yang oleh
Karl Marx (ahli filsafat Jerman) disebut kelas borjuis. Sedang kaum buruh dan
pegawai serta orang-orang miskin lainnya masuk dalam kelas proletar.
Dari dua kelas ini, sebenarnya muncul
sebuah simbiosis yang paling tidak sehat, yakni simbiosis parasitisme. Seperti
apa contoh simbiosis ini? Ambil contoh ribuan kaum buruh yang bekerja selama
delapan hingga sepuluh jam sehari.
Peluhnya menghujani baju, tulang dan ototnya dipaksa memikul beban. Tetapi
sekeras apapun mereka bekerja, kemiskinan tetap mereka sandang. Sedangkan sang
investor dan pemilik modal, yang duduk di kursi empuk dan ditemani beberapa
sekretaris pribadinya, semakin kaya dan kaya.
Lantas dari mana datangnya kekayaan
para borjuis itu? Tentu saja dari barang yang dibuat oleh para pekerja. Barang
tersebut dijual dengan harga tertentu yang setelah diakumulasikan dan melalui
perhitungan yang sangat rumit dan
njelimet dibagi menjadi antara lain untuk gaji buruh dan modal perusahaan. Lalu
siapa pembeli barang tersebut? Ya benar, kaum buruh dan keluarganya.
Baca Juga : Cula, Kutukan Para Badak
Baca Juga : Cula, Kutukan Para Badak
Ternyata kekayaan yang dimiliki oleh
kelas borjuis itu tak lain adalah hasil kerja para proletar. Banyak orang
mengatakan adalah hal yang logis jika para pengusaha menjadi kaya sedangkan para pekerja hidup dalam kemiskinan.
Alasannya, para investor, pemilik
perusahaan dan pemilik modal dapat menjadi kaya, karena tugas mereka ‘lebih
berat’. Dari sini muncul istilah pemikir dan pesuruh. Para pemikir (investor,
manajer, pejabat) mendapat gaji lebih banyak, sedang para buruh sudah
sewajarnya dan sepantasnya melarat, karena mereka hanya bermodal dengkul alias
otot alias tenaga (seperti layaknya sapi atau kuda).
Menyadari hal seperti ini, maka
banyak kaum buruh yang berjuang agar anaknya dapat terbebas dari jurang
kemiskinan. Maka mulailah ditanamkan kesadaran kepada anak-anaknya agar rajin
belajar dan bisa bersekolah tinggi.
Tetapi, pendidikan pun telah terpengaruh oleh uang. Analoginya
sederhana, sekolah butuh guru, dan guru juga butuh makan. Makan butuh uang,
jadi jangan kaget jika hanya mereka yang
punya uang yang bisa menikmati layanan pendidikan yang berkualitas
setinggi-tingginya. Maka tak heran hanya
sedikit calon dokter atau insinyur yang
berasal dari keluarga miskin.
Susahnya meraih pendidikan yang
tinggi membuat anak-anak dari keluarga kelas pekerja menjadi tidak memiliki
kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik dari ayahnya. Akhirnya
merekapun menggantikan tugas ayahnya untuk menjadi generasi buruh selanjutnya:
bekerja membanting tulang dan tetap melarat.
Dari sini dapat diketahui ternyata
faktor utama penyangga kekayaan kelas borjuis, tidak lain dan tidak bukan
adalah kaum buruh itu sendiri. Tanpa kaum buruh, pabrik akan tutup dan kelas
borjuis akan kehilangan uangnya.
Tapi selama sistem pendidikan masih memihak kepada mereka yang kaya, maka sumber ketersediaan kaum buruh yang rela diperbudak seperti kerbau akan terus ada. Kaum buruh ini, harus terus dilestarikan, agar bisa menjadi sumber utama pemasok kekayaan bagi kelas borjuis. Intinya kaum buruh harus miskin, agar kaum borjuis bisa terus kaya.
Tapi selama sistem pendidikan masih memihak kepada mereka yang kaya, maka sumber ketersediaan kaum buruh yang rela diperbudak seperti kerbau akan terus ada. Kaum buruh ini, harus terus dilestarikan, agar bisa menjadi sumber utama pemasok kekayaan bagi kelas borjuis. Intinya kaum buruh harus miskin, agar kaum borjuis bisa terus kaya.
Orang miskin dilarang kaya
Kembali ke masalah pendidikan. Jika
nanti semua warga sudah menyandang minimal gelar sarjana dan tidak ada yang mau
jadi kelas pekerja kasar, siapakah yang nantinya akan diperbudak lagi? Jelas
ini merupakan masalah bagi tirani borjuis. Untuk itulah pendidikan harus bisa
menjamin ketersediaan tenaga buruh, kalau perlu tenaga buruh yang cekatan,
terampil tapi tetap mau ditindas.
Dengan kata lain, kemiskinan harus
terus dijaga, agar keseimbangan ekonomi terus terpelihara. Hilangnya kaum buruh
miskin justru oleh beberapa pihak dipandang sebagai ancaman serius. Kemiskinan
beserta orang-orang miskin lainnya harus terus dirawat dan dipelihara agar
tetap menjadi miskin.
Sebagai analogi, ketika kaum buruh
tidak ada, maka pabrik pun berhenti beroperasi. Ini adalah sebuah bencana bagi
para pemilik modal yang menjadikan pabrik (dan kaum buruhnya) sebagai sapi
perah dan sumber kekayaan mereka. Para pemilik modal harus menjaga kondisi
pabrik sedemikian rupa agar kaum buruh tetap bekerja untuk mereka.
Dari analogi tersebut, dapat dilihat
“siapa sebenarnya yang bekerja untuk siapa dan siapa yang paling membutuhkan
siapa”. Kaum buruhlah yang sebenarnya menggerakkan roda perindustrian. Ketika
roda tersebut berputar, maka ekonomi dan perdagangan pun turut bergerak.
Tapi sayangnya, para penggerak roda
kehidupan tersebut (kaum buruh) justru hidup dalam kemiskinan (atau
dimiskinkan) dan tentu saja ketertindasan. Hampir tidak ada yang benar-benar
berpihak pada mereka, bahkan negara sekalipun.
Padahal salah satu tujuan pembentukan
negara (reason de eitre) adalah
melindungi segenap rakyatnya. Jadi jelas, negara diciptakan untuk rakyat, bukan
sebaliknya. Tapi ternyata, sampai detik ini negara belum berhasil (atau dengan
kata yang lebih jujur: gagal) untuk
melindungi segenap rakyatnya tersebut, terutama kaum buruh dan keluarganya.
Sering kita saksikan undang-undang dan kebijakan pemerintah justru tidak
memihak pada mereka.
Baca Juga : Benarkah Mayoritas Rakyat Indonesia Membenci Orang Tionghoa?
Baca Juga : Benarkah Mayoritas Rakyat Indonesia Membenci Orang Tionghoa?
Jikalau hal ini terus berlanjut dan
pelestarian kemiskinan terhadap mereka terus dilakukan, maka mungkin akan
terbesit suatu kesadaran di dalam lubuk kaum buruh tersebut.
Sebuah kesadaran yang akhirnya bermetamorfosis dan terfomulasikan dalam sebuah pertanyaan sederhana yang sering terlontar di dalam obrolan santai para sopir bus kopaja, para kuli pengangkut barang di Tanjung Priok, atau para buruh pabrik: lantas apa gunanya ada negara kalau gue tetep kere?
Sebuah kesadaran yang akhirnya bermetamorfosis dan terfomulasikan dalam sebuah pertanyaan sederhana yang sering terlontar di dalam obrolan santai para sopir bus kopaja, para kuli pengangkut barang di Tanjung Priok, atau para buruh pabrik: lantas apa gunanya ada negara kalau gue tetep kere?
Posting Komentar untuk "Mengapa Orang Miskin Tetap Miskin?"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.