Bumi Manusia: Sebuah Semesta Sosialis Khas Pramudya Ananta Toer
Catatan Adi - Ada satu hal yang membedakan novel hebat dengan novel buruk, penulis brilian dan amatir : kesan. Semakin baik sebuah novel, semakin ia berkesan dalam diri pembacanya.
Dan saya sendiri merasa Bumi Manusia layak untuk dibahas karena satu alasan yang sama : bagaimana novel ini mampu memberi kesan yang berbeda dari novel lainnya, baik yang sama-sama berkelas maupun amatir.
Mereview Bumi Manusia tidak boleh sekedar mengudar bagaimana Pram menulisnya dengan nilai-nilai sosialistik yang kental ataupun kenikmatan alur yang muncul dari karakter-karakter yang saling berkelindan.
Novel ini hebat justru karena ia terasa bukanlah sebuah novel, namun seperti layaknya babad yang langka di negeri yang memiliki sejarah yang belum terang benderang ini.
Andaikan sebuah semesta, maka novel ini memiliki tokoh-tokoh yang menarik untuk ditelisik satu persatu dan rasa-rasanya mereka bisa hadir dalam diri para pembaca. Karakter yang begitu dekat dengan dilema yang selalu melekat.
Entah melalui Nyi Ontosoroh yang kuat, tangguh dan berani berdiri merdeka, alih-alih menyerahkan diri pada orang lain maupun sesuatu yang dianggap besar di luar dirinya.
Atau melalui Minke yang penuh pergulatan batin, dari seorang pelajar dengan gelora nafsu yang berkobar-kobar menjadi salah satu aktivis revolusioner walaupun masih bersandar pada feodalisme keraton.
Semua tokoh-tokohnya tumbuh dan berkembang secara subur di semesta yang telah Pram bentuk, dan anehnya tetap terasa dekat dengan konteks kehidupan nyata. Inilah kelebihan para penulis sosialis.
Apa artinya ini? Berarti semesta Pram mengejewantah dalam kisah yang terhubung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dan pembacanya, betapapun jauhnya perbedaan masa dan zaman. Ah sosialis sekali.
Detail Yang Sempurna
Entah benar atau tidak gambaran Surabaya ketika Minke hidup, para pembaca khususnya yang tinggal di kota itu akan terpana. Ini bukan hanya cerita, namun sebuah peta kuno yang amat berharga.
Mendengar beberapa nama jalan dan tempat di buku itu saja, jari-jari imagi serasa hadir untuk menggelitik ruang nostalgia yang sebenarnya tak mungkin mampu menjangkau masa-masa itu.
Detail yang sempurna selalu menjadi senjata para penulis hebat yang semazhab dengan Pram, setidaknya yang mirip-mirip.
Coba tengoklah ketika Pram menjelaskan Annelis yang geulis aduhai. Dengan sedikit gubahan nakal, deskripsi gadis blesteran fiksi ini bakal membuat para pria bolak-balik ke kamar mandi.
Terlebih Nyi Ontosoh, tante penuh daya sensual jaman old yang bakalan bikin habis tisyu.
Bukan melulu soal deskripsi manusia atau tempat, bagaimana Pram menunjukkan karakter para tokohnya lewat untaian kata yang kadang meminjam beberapa istilah dari bahasa asing maupun daerah patut diacungi jempol.
R.L Stine gemar melakukan ini, namun tentu saja ia hanya mengeksplorasi nuansa horor dan menyeramkan. Sedang Pram nampak begitu lengkap. Begitu sempurna.
Baca saja bagaimana Surabaya dan Sidoarjo diudar dengan kata-kata dinamis nan mistis, yang mampu menghadirkan gejolak-gejolak dalam sanubari para pembaca. Persis seperti keluguan Inge Wilders ketika menjelaskan hutan Wisconsin-nya yang polos namun sangat menarik untuk dibaca.
Menantang Jaman
Banyak orang berusaha tampil nyentrik dengan harapan bisa terlihat mencolok, pun demikian dengan penulis. Tetapi nampaknya sedikit yang bisa menuai hasil yang diharapkan.
Pram masuk dalam hitungan yang sedikit itu. Di bawah naungan sastra kiri yang ultra-surealis, ia menantang jaman dengan pemikiran-pemikirannya yang menikam deru si penindas.
Kalimat-kalimat yang ada di Bumi Manusia, bukan asal lahir, namun dari buah pemikiran autokrastos insan yang sudi berpeluh demi menyurakan mereka yang terbungkam dan tak mampu didengar siapapun.
Pram adalah orangnya. Ia mampu mendengar deru jaman. Ia mampu membaca guratan si marhaen dan kaum murba. Ia jugalah yang bermeditasi dalam laku karya, menuntaskan Bumi Manusia walau bukan dalam keadaan yang baik-baik saja.
Novel ini penuh dengan pertentangan dan Pramudya Ananta Toer menyajikannya dalam dua wajah sekaligus : wajah sejarah yang apa adanya sekaligus argumen pengulik rasa simpatik pada rakyat yang rindu merdeka.
Semua itu tentu saja hanya mampu dilakukan oleh mereka yang fasih dalam aktivitas politik perjuangan, bukan melulu filsafat basi apalagi poltik transaksional.
Wawasan Yang Luas
Bumi Manusia juga menunjukkan bagaimana luasnya cakrawala pengetahuan Pramudya Ananta Toer. Tak melulu soal kemolekan Annelis atau aduhainya MILF jaman kolonial macam Nyai Ontosoroh, Pram juga menyerempet banyak hal, baik itu sejarah, politik, agama, filsafat hingga budaya.
Sungguh beruntung sesungguhnya dari rahim pertiwi pernah hadir sosok Pram, penulis yang berbakti bagi kemanusiaan dan menempa pengetahuan hingga bisa dicerna secara sastrawi.
Ia bukan hanya Jose Rizal bagi Hindia Belanda atau Gibran bagi Amerika dan Libanon, tetapi lebih dari itu. Ia mendongkel pernyanyian serta perbudakaan, memperolok ndoroisme sekaligus menampar muka kapitalisme tahi kucing yang disajikan serupa coklat tetapi tetap saja bau bacin.
Kita butuh lebih banyak manusia-manusia seperti Pram. Eka Kurniawan sudah berada di jalan yang sama, dan dulu Iwan Simatupangn serta Ayu Utami nyaris ke sana andai saja lebih banyak karya yang terpublikasikan.
Bukan hanya karena di negeri yang atos hatinya ini manusia-manusianya terlampau mudah dikibuli kabut kepentingan, namun karena anak-anak manusia butuh sastra yang lebih manusiawi walau tetap indah seperti apa adanya.
Dan saya sendiri merasa Bumi Manusia layak untuk dibahas karena satu alasan yang sama : bagaimana novel ini mampu memberi kesan yang berbeda dari novel lainnya, baik yang sama-sama berkelas maupun amatir.
Mereview Bumi Manusia tidak boleh sekedar mengudar bagaimana Pram menulisnya dengan nilai-nilai sosialistik yang kental ataupun kenikmatan alur yang muncul dari karakter-karakter yang saling berkelindan.
Novel ini hebat justru karena ia terasa bukanlah sebuah novel, namun seperti layaknya babad yang langka di negeri yang memiliki sejarah yang belum terang benderang ini.
Andaikan sebuah semesta, maka novel ini memiliki tokoh-tokoh yang menarik untuk ditelisik satu persatu dan rasa-rasanya mereka bisa hadir dalam diri para pembaca. Karakter yang begitu dekat dengan dilema yang selalu melekat.
Entah melalui Nyi Ontosoroh yang kuat, tangguh dan berani berdiri merdeka, alih-alih menyerahkan diri pada orang lain maupun sesuatu yang dianggap besar di luar dirinya.
Atau melalui Minke yang penuh pergulatan batin, dari seorang pelajar dengan gelora nafsu yang berkobar-kobar menjadi salah satu aktivis revolusioner walaupun masih bersandar pada feodalisme keraton.
Semua tokoh-tokohnya tumbuh dan berkembang secara subur di semesta yang telah Pram bentuk, dan anehnya tetap terasa dekat dengan konteks kehidupan nyata. Inilah kelebihan para penulis sosialis.
Apa artinya ini? Berarti semesta Pram mengejewantah dalam kisah yang terhubung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dan pembacanya, betapapun jauhnya perbedaan masa dan zaman. Ah sosialis sekali.
Pram, penulis novel Bumi Manusia |
Detail Yang Sempurna
Entah benar atau tidak gambaran Surabaya ketika Minke hidup, para pembaca khususnya yang tinggal di kota itu akan terpana. Ini bukan hanya cerita, namun sebuah peta kuno yang amat berharga.
Mendengar beberapa nama jalan dan tempat di buku itu saja, jari-jari imagi serasa hadir untuk menggelitik ruang nostalgia yang sebenarnya tak mungkin mampu menjangkau masa-masa itu.
Detail yang sempurna selalu menjadi senjata para penulis hebat yang semazhab dengan Pram, setidaknya yang mirip-mirip.
Coba tengoklah ketika Pram menjelaskan Annelis yang geulis aduhai. Dengan sedikit gubahan nakal, deskripsi gadis blesteran fiksi ini bakal membuat para pria bolak-balik ke kamar mandi.
Terlebih Nyi Ontosoh, tante penuh daya sensual jaman old yang bakalan bikin habis tisyu.
Bukan melulu soal deskripsi manusia atau tempat, bagaimana Pram menunjukkan karakter para tokohnya lewat untaian kata yang kadang meminjam beberapa istilah dari bahasa asing maupun daerah patut diacungi jempol.
R.L Stine gemar melakukan ini, namun tentu saja ia hanya mengeksplorasi nuansa horor dan menyeramkan. Sedang Pram nampak begitu lengkap. Begitu sempurna.
Baca saja bagaimana Surabaya dan Sidoarjo diudar dengan kata-kata dinamis nan mistis, yang mampu menghadirkan gejolak-gejolak dalam sanubari para pembaca. Persis seperti keluguan Inge Wilders ketika menjelaskan hutan Wisconsin-nya yang polos namun sangat menarik untuk dibaca.
Menantang Jaman
Banyak orang berusaha tampil nyentrik dengan harapan bisa terlihat mencolok, pun demikian dengan penulis. Tetapi nampaknya sedikit yang bisa menuai hasil yang diharapkan.
Pram masuk dalam hitungan yang sedikit itu. Di bawah naungan sastra kiri yang ultra-surealis, ia menantang jaman dengan pemikiran-pemikirannya yang menikam deru si penindas.
Kalimat-kalimat yang ada di Bumi Manusia, bukan asal lahir, namun dari buah pemikiran autokrastos insan yang sudi berpeluh demi menyurakan mereka yang terbungkam dan tak mampu didengar siapapun.
Pram adalah orangnya. Ia mampu mendengar deru jaman. Ia mampu membaca guratan si marhaen dan kaum murba. Ia jugalah yang bermeditasi dalam laku karya, menuntaskan Bumi Manusia walau bukan dalam keadaan yang baik-baik saja.
Novel ini penuh dengan pertentangan dan Pramudya Ananta Toer menyajikannya dalam dua wajah sekaligus : wajah sejarah yang apa adanya sekaligus argumen pengulik rasa simpatik pada rakyat yang rindu merdeka.
Semua itu tentu saja hanya mampu dilakukan oleh mereka yang fasih dalam aktivitas politik perjuangan, bukan melulu filsafat basi apalagi poltik transaksional.
Wawasan Yang Luas
Bumi Manusia juga menunjukkan bagaimana luasnya cakrawala pengetahuan Pramudya Ananta Toer. Tak melulu soal kemolekan Annelis atau aduhainya MILF jaman kolonial macam Nyai Ontosoroh, Pram juga menyerempet banyak hal, baik itu sejarah, politik, agama, filsafat hingga budaya.
Sungguh beruntung sesungguhnya dari rahim pertiwi pernah hadir sosok Pram, penulis yang berbakti bagi kemanusiaan dan menempa pengetahuan hingga bisa dicerna secara sastrawi.
Ia bukan hanya Jose Rizal bagi Hindia Belanda atau Gibran bagi Amerika dan Libanon, tetapi lebih dari itu. Ia mendongkel pernyanyian serta perbudakaan, memperolok ndoroisme sekaligus menampar muka kapitalisme tahi kucing yang disajikan serupa coklat tetapi tetap saja bau bacin.
Kita butuh lebih banyak manusia-manusia seperti Pram. Eka Kurniawan sudah berada di jalan yang sama, dan dulu Iwan Simatupangn serta Ayu Utami nyaris ke sana andai saja lebih banyak karya yang terpublikasikan.
Bukan hanya karena di negeri yang atos hatinya ini manusia-manusianya terlampau mudah dikibuli kabut kepentingan, namun karena anak-anak manusia butuh sastra yang lebih manusiawi walau tetap indah seperti apa adanya.
Posting Komentar untuk "Bumi Manusia: Sebuah Semesta Sosialis Khas Pramudya Ananta Toer"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.