Mimpi Indah Marx Yang Tak Laku
Apakah itu benar? Oh tidak semudah itu, Ferguso. It’s not only about class and class struggle. Justru yang harus dilihat lagi, apakah keberadaan kelas itu sebagai sebuah hal yang alamiah atau hasil modifikasi kelompok rahasia pemuja lilin-lilin kecil pemakan ikan pari penyembah spagheti terbang semacam illuminati-remason-CIA-sejenisnya? Inilah kegagalan awal dogma om Karl. No offense, comerades ;)
Perjuangan kelas memang bagus dan tidak ada salahnya. Semua orang harus berjuang, termasuk caleg-caleg yang bukan berasal dan PDI “Perjuangan” sekalipun. Ya semua sepakat, termasuk Patrik dan Spongebob. Masalahnya adalah, kelas ini adalah hal yang alamiah. It comes naturally. Kelas atau golongan atau level atau apapun itu pastilah muncul seiring dengan munculnya manusia dengan berbagai jenisnya, yang rajin luar biasa dan yang malas tingkat dewa.
Kegagalan dan kegagapan om Marx serta para followernya dalam menyikapi hal ini menimbulkan serentetan hal menyedihkan di kemudian hari. Eropa Timur, Tiongkok era Mao sampai Kamboja dan Polpotnya yang kampret itu. Mereka memaksakan natur manusia agar menjadi seragam dan satu. Membantai jutaan orang karena dianggap borjuis dan kapitalis. It’s not struggle, it’s genocide!
Padahal justru korban-korban yang gugur itu sebenarnya berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan membantu menegakkan konsep adil makmur sama rata sama rasa.
Kelas pasti ada. Manusia pasti terbagi. Ada yang jadi petani ada yang jadi selebtwit. Ada yang berprofesi sebagai buruh pabrik pengalengan sarden ada pula yang jadi dukun beranak. Memaksa mereka untuk menyeragamkan menjadi satu jenis kelas saja sudah pasti mustahil bin impossible.
Okay I understand, jika yang dimaksud adalah kelas borjuis dan proletar, maka ini justru lebih akwawawaward lagi. Siaposka yang mau jadi proletar? Tentu neineinei! Tidak ada!
Adalah banal jika terus menerus berfokus pada pertarungan borjuis versus proletar. Ini bukan derby sepanjang masa such as Roma vs Lazio. Ini adalah sebuah keniscayaan juga. Ada dua hal yang luput dari pandangan para marxis yang cakep-cakep ini. Pertama, sekali lagi tuntutan zaman, kedua sistem yang memang tidak sempurna. Mumpung lagi nganggur mari kita bahas satu persatu.
Apa itu tuntutan zaman, dan mengapa zaman terus menuntut, padahal dia bukan jaksa? Karena itu adalah natur peradaban. Bukan hanya manusia yang di dunia ini katanya cuma mampir ngombe bir dan ndugem, hewanpun dituntut untuk beradaptasi dengan zaman. Kalau dulu makhluknya gede-gede seperti t-rex dan irex, maka sekarang imut-imut macam komodo dan tokek. Begitupula manusia. Harus cerdas. Harus rajin. Harus tangguh.
Bukankah pepatah dari Uganda bersabda “jangan malas jika tak ingin tertindas?” Ini dia jawabannya. Proletar lahir salah satunya dan terutama sekali karena kurangnya gairah dari sebagian masyarakat untuk berkarya secara maksimal, semoga bahasa ini sudah cukup halus.
Bagaimana mungkin keadilan disebut sudah bekerja jika yang belajar keras dan berjuang dengan tekun disamakan dengan mereka yang ongkang-ongkang kaki di masa muda sambil keluyuran dan menganggap remeh sistem pendidikan. Tentu tidak bisa, mas bro. Ada yang jadi manajer ada yang jadi supervisor. Ada yang jadi owner ada yang jadi seller.
Apakah selamanya labour hanya hidup di bawah ketiak bos? Mungkin dulu iya, tetapi dengan berkembangnya zaman yang akhirnya membuka tabir pencerahan melalui berbagai inovasi teknologi, bawahan bisa juga jadi bos. Ini bisa dimaklumi karena jelas di zaman Marx dan Bakunin belum mengenal apa itu demam entrepreneurship.
Kedua, masalah sistem yang tak sempurna, karena memang tidak ada yang sempurna. Entah itu sosial demokrat, kapitalisme berprikemanusiaan atau fasisme, semua memiliki celah. Dan harus diakui dari celah itulah timbul sesuatu yang berhasil disayati oleh pisau analisis marxisme, penindasan.
Penindasan, terlebih alienasi, adalah sesuatu yang kejam dan lebih kejam dari ibu tiri manapun. Ia membuat manusia-manusia culas dan curang mengkangkangi dunia serta membuat yang lain hidup dalam kemiskinan. Maka lahirlah proletar-proletar yang sebenarnya tidak layak miskin tapi akhirnya hidup kere karena dimiskinkan sistem.
Lalu apa solusi nyata komunisme? Melalui industrialisasi sovietnya Stalin? Pembagian sembako ala Jerman Timur? Pembantaian orang-orang menengah keatas ala Polpot? Atau berselingkuh dengan kapitalisme seperti yang sekarang dilakukan Cina?
Marxisme dalam dunia nyata yang sebenar-benarnya juga gagal mengatasi kemiskinan karena sistem. Justru Marxisme, dalam sejarah yang telanjang bulat, juga berkontribusi dalam membuat rakyat berbagai negara di Eropa Timur hingga Amerika Latin jadi kere hore dan kekurangan pangan. Camkan itu, Alejandro!
Itu karena dalam Marxisme, ekonomi terpimpin (atau ekonomi Marxis, ekonomi sosialis, you named itu lah!) juga menimbulkan celah baru yang lebih berbahaya. Kediktatoran!
Monarki feodalisme terganti dengan monarki ala partai komunis. Kaum pekerja justru hidup makin merana. Tidak usah berdebat, buka semua referensi dan akan terlihat jelas negara-negara komunis hidup dengan ekonomi Senin-Kamis.
Itu karena komunisme bertentangan dengan natur manusia, yaitu kebebasan. Jika sudah demikian, maka pastilah ideologi yang seksi itu hanya enak dilihat tapi jangan sampai melakukan pendekatan yang lebih serius. Apalagi mengawininya. Bisa kacau rumah tangga.
Kembali kepada perjuangan kelas, banyak hal yang harus direvisi sebelum diajukan ke sidang skripsi, kawan! Semua ini berputar-putar pada satu hal, siapa yang akan bekerja dan seberapa yang akan dia dapatkan nantinya jika umpama komunisme menang.
Lalu apa alternatif dari perjuangan kelas yang sudah terdoktrin secara konservatif-saklek-ultra-absolut tersebut.
Naik kelas! Alih-alih mempertentangkan dua kelas yang berbeda, mengapa tidak saling membantu untuk naik kelas. Dan senjata utama dari ini semua adalah edukasi!
Di sinilah peran negara, atau masyarakat atau whatever yang memegang kekuasaan, untuk memastikan aturan main yang setidaknya mendekati fair.
Ingat, tidak ada sistem yang sempurna.
Si miskin diberdayakan untuk bisa melepaskan diri dari kemiskinannya, tanpa harus menumpahkan darah orang lain. Si kaya dipastikan sedemikian rupa untuk tidak menguasai sistem dan sumber daya alam sedemikian rupa untuk melanggengkan kekayaannya.
I believe semua kekayaan alam planet ini cukup jika dibagi rata. Masalahnya, perlu kerja keras untuk mendapatkannya bukan. Bahkan untuk memindahkan air yang segar nan nikmat dair pegunungan Prigen ke Surabaya juga butuh kerja.
Perjuangan kelas memang terdengar keren, terutama bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tetapi ingat, yang ingin kita berantas adalah kemiskinannya bukan mencintai orang miskin dengan cara yang salah yang pada akhirnya justru melanggengkan kemiskinan.
Si proletar, marhaen, murba dan wong cilik harus dibantu untuk bisa berdaya, memutus rantai kemiskinan, jika itu memang membelenggu mereka dan keluarga mereka, dengan edukasi yang benar.
Karena masyarakat adil makmur dan kondisi bahagia sempura dengan sama rata dan sama rasa sebenarnya tidak lebih dari mimpi di siang bolong, jika buruh dan rakyat hanya diberi janji dan pengajaran yang salah.
Tidak ada salahnya jadi kaya. Malah kalo bisa semua orang kaya, hidup berkecukupan bahkan berkelimpahan.
Bencilah kemiskinan dan mulailah belajar untuk naik kelas. Tanpa perlu revolusi. Tanpa perlu mengambil alat-alat produksi dengan kekerasan.
Bahkan untuk sampai pada posisi yang sekarang, Steve Jobs, Jack Ma ataupun Sampoerna juga mengawalinya dari bawah, dari level yang sangat rendah.
Tetapi jika sistem yang memiskinkan sebagian orang dan memperkaya sebagian yang lain melalui korupsi serta perbuatan nista lainnya, maka untuk segenap rakyat, hanya ada satu kata: Lawan!
Foto Marx sedang berpesta |
Perjuangan kelas memang bagus dan tidak ada salahnya. Semua orang harus berjuang, termasuk caleg-caleg yang bukan berasal dan PDI “Perjuangan” sekalipun. Ya semua sepakat, termasuk Patrik dan Spongebob. Masalahnya adalah, kelas ini adalah hal yang alamiah. It comes naturally. Kelas atau golongan atau level atau apapun itu pastilah muncul seiring dengan munculnya manusia dengan berbagai jenisnya, yang rajin luar biasa dan yang malas tingkat dewa.
Kegagalan dan kegagapan om Marx serta para followernya dalam menyikapi hal ini menimbulkan serentetan hal menyedihkan di kemudian hari. Eropa Timur, Tiongkok era Mao sampai Kamboja dan Polpotnya yang kampret itu. Mereka memaksakan natur manusia agar menjadi seragam dan satu. Membantai jutaan orang karena dianggap borjuis dan kapitalis. It’s not struggle, it’s genocide!
Padahal justru korban-korban yang gugur itu sebenarnya berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan membantu menegakkan konsep adil makmur sama rata sama rasa.
Kelas pasti ada. Manusia pasti terbagi. Ada yang jadi petani ada yang jadi selebtwit. Ada yang berprofesi sebagai buruh pabrik pengalengan sarden ada pula yang jadi dukun beranak. Memaksa mereka untuk menyeragamkan menjadi satu jenis kelas saja sudah pasti mustahil bin impossible.
Okay I understand, jika yang dimaksud adalah kelas borjuis dan proletar, maka ini justru lebih akwawawaward lagi. Siaposka yang mau jadi proletar? Tentu neineinei! Tidak ada!
Semua ingin kaya, ingin sejahtera, minimal ingin berkecukupan. Tidak ada yang mau cuma dapet upah sebenggol sehari. Tanya saja itu para marhaen dan proletar yang demo tiap pembahasan UMK/UMP.
Adalah banal jika terus menerus berfokus pada pertarungan borjuis versus proletar. Ini bukan derby sepanjang masa such as Roma vs Lazio. Ini adalah sebuah keniscayaan juga. Ada dua hal yang luput dari pandangan para marxis yang cakep-cakep ini. Pertama, sekali lagi tuntutan zaman, kedua sistem yang memang tidak sempurna. Mumpung lagi nganggur mari kita bahas satu persatu.
Apa itu tuntutan zaman, dan mengapa zaman terus menuntut, padahal dia bukan jaksa? Karena itu adalah natur peradaban. Bukan hanya manusia yang di dunia ini katanya cuma mampir ngombe bir dan ndugem, hewanpun dituntut untuk beradaptasi dengan zaman. Kalau dulu makhluknya gede-gede seperti t-rex dan irex, maka sekarang imut-imut macam komodo dan tokek. Begitupula manusia. Harus cerdas. Harus rajin. Harus tangguh.
Bukankah pepatah dari Uganda bersabda “jangan malas jika tak ingin tertindas?” Ini dia jawabannya. Proletar lahir salah satunya dan terutama sekali karena kurangnya gairah dari sebagian masyarakat untuk berkarya secara maksimal, semoga bahasa ini sudah cukup halus.
“Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas!”
Bagaimana mungkin keadilan disebut sudah bekerja jika yang belajar keras dan berjuang dengan tekun disamakan dengan mereka yang ongkang-ongkang kaki di masa muda sambil keluyuran dan menganggap remeh sistem pendidikan. Tentu tidak bisa, mas bro. Ada yang jadi manajer ada yang jadi supervisor. Ada yang jadi owner ada yang jadi seller.
Apakah selamanya labour hanya hidup di bawah ketiak bos? Mungkin dulu iya, tetapi dengan berkembangnya zaman yang akhirnya membuka tabir pencerahan melalui berbagai inovasi teknologi, bawahan bisa juga jadi bos. Ini bisa dimaklumi karena jelas di zaman Marx dan Bakunin belum mengenal apa itu demam entrepreneurship.
Kedua, masalah sistem yang tak sempurna, karena memang tidak ada yang sempurna. Entah itu sosial demokrat, kapitalisme berprikemanusiaan atau fasisme, semua memiliki celah. Dan harus diakui dari celah itulah timbul sesuatu yang berhasil disayati oleh pisau analisis marxisme, penindasan.
Penindasan, terlebih alienasi, adalah sesuatu yang kejam dan lebih kejam dari ibu tiri manapun. Ia membuat manusia-manusia culas dan curang mengkangkangi dunia serta membuat yang lain hidup dalam kemiskinan. Maka lahirlah proletar-proletar yang sebenarnya tidak layak miskin tapi akhirnya hidup kere karena dimiskinkan sistem.
Lalu apa solusi nyata komunisme? Melalui industrialisasi sovietnya Stalin? Pembagian sembako ala Jerman Timur? Pembantaian orang-orang menengah keatas ala Polpot? Atau berselingkuh dengan kapitalisme seperti yang sekarang dilakukan Cina?
Marxisme dalam dunia nyata yang sebenar-benarnya juga gagal mengatasi kemiskinan karena sistem. Justru Marxisme, dalam sejarah yang telanjang bulat, juga berkontribusi dalam membuat rakyat berbagai negara di Eropa Timur hingga Amerika Latin jadi kere hore dan kekurangan pangan. Camkan itu, Alejandro!
Itu karena dalam Marxisme, ekonomi terpimpin (atau ekonomi Marxis, ekonomi sosialis, you named itu lah!) juga menimbulkan celah baru yang lebih berbahaya. Kediktatoran!
Monarki feodalisme terganti dengan monarki ala partai komunis. Kaum pekerja justru hidup makin merana. Tidak usah berdebat, buka semua referensi dan akan terlihat jelas negara-negara komunis hidup dengan ekonomi Senin-Kamis.
Itu karena komunisme bertentangan dengan natur manusia, yaitu kebebasan. Jika sudah demikian, maka pastilah ideologi yang seksi itu hanya enak dilihat tapi jangan sampai melakukan pendekatan yang lebih serius. Apalagi mengawininya. Bisa kacau rumah tangga.
Kembali kepada perjuangan kelas, banyak hal yang harus direvisi sebelum diajukan ke sidang skripsi, kawan! Semua ini berputar-putar pada satu hal, siapa yang akan bekerja dan seberapa yang akan dia dapatkan nantinya jika umpama komunisme menang.
Lalu apa alternatif dari perjuangan kelas yang sudah terdoktrin secara konservatif-saklek-ultra-absolut tersebut.
Naik kelas! Alih-alih mempertentangkan dua kelas yang berbeda, mengapa tidak saling membantu untuk naik kelas. Dan senjata utama dari ini semua adalah edukasi!
Di sinilah peran negara, atau masyarakat atau whatever yang memegang kekuasaan, untuk memastikan aturan main yang setidaknya mendekati fair.
Ingat, tidak ada sistem yang sempurna.
Si miskin diberdayakan untuk bisa melepaskan diri dari kemiskinannya, tanpa harus menumpahkan darah orang lain. Si kaya dipastikan sedemikian rupa untuk tidak menguasai sistem dan sumber daya alam sedemikian rupa untuk melanggengkan kekayaannya.
I believe semua kekayaan alam planet ini cukup jika dibagi rata. Masalahnya, perlu kerja keras untuk mendapatkannya bukan. Bahkan untuk memindahkan air yang segar nan nikmat dair pegunungan Prigen ke Surabaya juga butuh kerja.
Perjuangan kelas memang terdengar keren, terutama bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tetapi ingat, yang ingin kita berantas adalah kemiskinannya bukan mencintai orang miskin dengan cara yang salah yang pada akhirnya justru melanggengkan kemiskinan.
Si proletar, marhaen, murba dan wong cilik harus dibantu untuk bisa berdaya, memutus rantai kemiskinan, jika itu memang membelenggu mereka dan keluarga mereka, dengan edukasi yang benar.
Karena masyarakat adil makmur dan kondisi bahagia sempura dengan sama rata dan sama rasa sebenarnya tidak lebih dari mimpi di siang bolong, jika buruh dan rakyat hanya diberi janji dan pengajaran yang salah.
Tidak ada salahnya jadi kaya. Malah kalo bisa semua orang kaya, hidup berkecukupan bahkan berkelimpahan.
Bencilah kemiskinan dan mulailah belajar untuk naik kelas. Tanpa perlu revolusi. Tanpa perlu mengambil alat-alat produksi dengan kekerasan.
Bahkan untuk sampai pada posisi yang sekarang, Steve Jobs, Jack Ma ataupun Sampoerna juga mengawalinya dari bawah, dari level yang sangat rendah.
Tetapi jika sistem yang memiskinkan sebagian orang dan memperkaya sebagian yang lain melalui korupsi serta perbuatan nista lainnya, maka untuk segenap rakyat, hanya ada satu kata: Lawan!
Baca juga:
Posting Komentar untuk "Mimpi Indah Marx Yang Tak Laku"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.