Kisah Secangkir Kopi Untuk Si Melarat
Kisah ini diceritakan oleh mereka yang menjadi saksi dari peristiwa ini. Sebuah kisah tentang kemanusiaan, kasih sayang, cinta, ketulusan dan kepedulian.
Apa pun agama Anda, latar belakang serta suku dan asal Anda, kisah ini bisa menjadi bukti bahwa kasih sayang dan kepedulian antar manusia masih terjaga.
Inilah kisah yang terkenal itu.
Sepasang wisatawan asyik menikmati kopi di sebuah kafe terkenal di Venesia, Italia.
Mereka terlibat obrolan seru seputar keindahan kota serta pengalaman mereka.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pria paruh baya, duduk di salah satu meja kosong. Ia memanggil pramusaji dan memesan : “Kopi 2 cangkir. Yang 1 untuk di dinding.”
Suara sang pria cukup lantang. Sepasang pelancong tadi juga mendengar kalimat dari pria itu.
Sang wisatawan merasa heran mendengar kalimat tersebut. Apalagi sang pria kemudian hanya disuguhi 1 cangkir kopi, namun ia membayar untuk 2 cangkir. Lalu ke mana kopi yang satunya?
Segera setelah pria tersebut pergi, pramusaji itu menempelkan selembar kertas kecil bertuliskan "Segelas Kopi" di dinding kafe.
Suasana kafe kembali hening. Tak lama kemudian masuklah dua orang pria. Kedua pria tersebut pesan 3 cangkir kopi. Dua cangkir di meja, satu lagi untuk di dinding. Mereka pun membayar tiga cangkir kopi sebelum pergi.
Lagi-lagi setelah itu pramusaji melakukan hal yang sama, menempelkan kertas bertulis "Segelas Kopi" di dinding.
Pemandangan aneh di kafe sore itu membuat pasangan wisatawan itu heran. Mereka meninggalkan kafe dengan menyimpan pertanyaan atas kejadian ganjil yang disaksikannya, namun ia tidak sempat mengajukan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan kopi di dinding tadi.
Minggu berikutnya, mereka mampir kembali di kafe yang sama. Mereka melihat, seseorang lelaki tua masuk ke dalam kafe. Pakaiannya kumal dan kotor. Setelah duduk ia melihat ke dinding dan berkata kepada pelayan : “Satu cangkir kopi dari dinding."
Pramusaji segera menyuguhkan segelas kopi.
Setelah menghabiskan kopinya, lelaki lusuh tadi lantas pergi tanpa membayar. Tampak pramusaji menarik satu lembar kertas dari dinding tersebut, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Kini pertanyaan pasangan wisatawan itu terjawab sudah.
Begini rupanya cara penduduk kota ini menolong sesamanya yang kurang beruntung, dengan tetap menaruh respek kepada orang yang ditolongnya. Kaum papa bisa menikmati secangkir kopi tanpa perlu merendahkan harga diri untuk mengemis secangkir kopi. Bahkan mereka pun tidak perlu tahu siapa yang “mentraktirnya”.
Suatu tatanan hidup bermasyarakat yang amat menyentuh dan mengharukan.
Seorang guru besar yang meyakini, bahwa kita tidak bisa hidup lebih baik, tanpa memberi dan menerima cinta, perhatian, dan bantuan dari orang lain.
“Terlalu sering kita meremehkan kekuatan sebuah sentuhan, sekilas senyuman, sebuah kata, mendengar keluhan orang lain, pujian tulus atau tindakan kecil membantu orang lain, yang semua itu punya kekuatan untuk mengubah kehidupan,” katanya.
Secangkir kopi di dinding adalah wujud cinta yang ikhlas kepada kaum miskin, tanpa menyikapi kaum miskin dengan cara arogan : "Aku memberi kepadamu".
Tidak penting seberapa banyak kita sudah memberi.
Yang lebih penting adalah bagaimana cara kita memberi…
Apakah Anda bersedia memberi sesuatu pada orang yang tidak Anda kenal?
Bersediakah Anda menolong seseorang yang sudah pasti tidak bisa menolong Anda?
Bagikan kisah ini kepada semua orang. Berikan juga tanggapan Anda di kolom komentar. Catatan Adi akan senang membacanya.
Posting Komentar untuk "Kisah Secangkir Kopi Untuk Si Melarat"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.