Sepasang Kekasih Muda Dari Jerman
Nyanyian itu kembali berkumandang, membuat tersenyum hati yang sepi. Suram malam tidak mampu lagi menyerang kalbu, seperti hari kemarin. Biola dan suara yang indah itu, seakan menyatu, membuat keheningan menjadi keceriaan. Sepasang muda-mudi itu, memang tahu betul bagaimana cara bermusik. Tapi siapa sebenarnya mereka?
Ada yang berbisik, jika sepasang pemusik itu, penyanyi dan pemain biola, adalah dua orang seniman yang tersasar yang tidak bisa kembali karena salju turun begitu derasnya. Ada pula suara-suara lirih, yang menuduh mereka adalah mata-mata Jerman Barat, yang sedang mengumpulkan informasi mengenai desa ini. Aku tidak begitu peduli, karena saat ini yang ada dipikiranku hanya satu, sepiku pergi.
Lima belas tahun yang lalu, Ivana, gadis pujaanku, harus kembali ke surga. Punggungnya berlubang oleh timah panas tentara Nazi, sedang mukanya lebam terantuk batu ketika ia roboh ke tanah. Lima belas tahun sudah aku hidup bersama perenungan yang menyedihkan, berharap Tuhan segera memberikan maut dalam bentuk apapun, agar aku bisa kembali bersama Ivana.
Ada yang berbisik, jika sepasang pemusik itu, penyanyi dan pemain biola, adalah dua orang seniman yang tersasar yang tidak bisa kembali karena salju turun begitu derasnya. Ada pula suara-suara lirih, yang menuduh mereka adalah mata-mata Jerman Barat, yang sedang mengumpulkan informasi mengenai desa ini. Aku tidak begitu peduli, karena saat ini yang ada dipikiranku hanya satu, sepiku pergi.
Lima belas tahun yang lalu, Ivana, gadis pujaanku, harus kembali ke surga. Punggungnya berlubang oleh timah panas tentara Nazi, sedang mukanya lebam terantuk batu ketika ia roboh ke tanah. Lima belas tahun sudah aku hidup bersama perenungan yang menyedihkan, berharap Tuhan segera memberikan maut dalam bentuk apapun, agar aku bisa kembali bersama Ivana.
Sebenarnya aku hanyalah seorang petani miskin, yang sedari kecil hanya mengenal garu dan sabit. Sahabatku sapi-sapi dan bersama dengan hijaunya padang aku menghabiskan hari-hari. Hidupku sempurna, dengan adanya sosok gadis luar biasa secantik bintang, yang menemaniku setiap saat.
Tetapi semua berubah ketika orang-orang Jerman itu datang. Awalnya mereka mengatakan hanya akan menggunakan desa kami untuk sementara, sebagai gudang penyimpanan senjata. Tetapi belum sampai seminggu, desa hijau nan asri kami berubah menjadi medan pertempuran bengis.
Perang? Kata-kata itu sering aku jumpai, tetapi hanya dalam dongeng kakek dan ayahku. Mereka berdua gemar bercerita tentang pertempuran Troya atau Sparta. Sedang sebelum masa ini, aku belum pernah melihat sendiri apa itu perang. Padahal katanya Eropa sedang bergejolak. Jerman dan Italia melindas negara-negara sekitarnya dengan penuh nafsu, layaknya mata bajak yang menggaru tanah.
Aku dan Ivana tetap tidak peduli, walau seperti penduduk lainnya, kami was-was. Tetapi negara kami sudah ada ikatan perjanjian dengan Fuhrer, bahwa kami tidak akan saling terkam. Lagipula menurut pandangan kami, sekuat apapun manusia bernama Adolf atau Benito, mereka akan berpikir jutaan kali bila ingin berhadapan dengan barisan tentara kami yang sangat terlatih dan terkenal selalu bertarung layaknya beruang.
Tapi takdir berkata lain, Jerman ingkar. Negeri kami diserbu, tanah kami diinjak-injak. Kebengisan mereka ternyata bukan hanya dongeng, melainkan sungguh nyata. Suatu hari, mereka menyerbu gereja, mencari para iblis yang katanya harus dimusnahkan, atau dunia akan kiamat.
Jelas kami berang, di desa kami tidak ada iblis. Penduduk desa kami adalah manusia, dan Ivana adalah seorang malaikat. Jerman berkeras, mereka mengukur kepala kami, meneliti guratan-guratan wajah kami, serta menanyakan apa hubungan kami dengan orang Ibrani? Kami tertawa, karena memang setengah dari penduduk desa kami adalah Yahudi, termasuk juga Ivana. Ternyata itulah sebabnya, Jerman menduduki desa kami.
“Jangan tinggalkan aku”
“Tidak akan sayang, kau jangan takut, Tuhan dan Kamerad Agung akan menurunkan penyelamat untuk kita?”
“Sampai kapan? Aku takut?”
“Percayalah, kau akan kubela dengan nyawaku sendiri?”
Itulah percakapan terkahir antara aku dan malaikatku. Malamnya, ketika aku baru pulang dari gudang gandum, rumahku sudah penuh dengan serdadu coklat Jerman. Mereka berhasil menemukan Ivana. Aku marah, tetapi hanya mampu terpaku bisu, seperti gereja St. Basil yang tertiup angin timur. Bahkan aku hanya menunduk, begitu tentara Jerman itu menggiring tubuh Ivana yang lemah ke sebuah mobil hijau tua. Aku hanya menatap kosong, tanpa mampu berbuat apa-apa, ketika malaikat cinta belahan jiwaku berlalu dengan nyanyian tangisan yang nyaring menyeruak membelah langit malam.
Dua hari kemudian, kabar kematian Ivana sampai kepadaku. Aku menangis sejadi-jadinya, meraung mengutuk ketotolan serta kelemahan diriku sendiri. Tapi bagaimana lagi, aku hanyalah sosok petani miskin yang tidak punya kemampuan bertempur sama sekali.
Alunan merdu itu kembali membawaku larut dalam kenangan cinta. Kenangan bagaimana aku dan Ivana bersama menjaga sapi-sapi kami di padang, kembali muncul. Akulah yang membawa dua seniman itu ke sini. Perang dingin telah berlalu, dan Jerman menuai balasannya. Negeri congkak itu terbelah menjadi dua. Setengah dikuasai para kapitalis, sisanya dipegang oleh sekutu kami. Untuk meredakan kebencian, pemerintah Moskow mengundang beberapa orang Jerman untuk berkunjung kemari. Kebanyakan adalah seniman. Penampilan mereka memukau kami. Banyak dari kami melupakan peristiwa lima belas tahun kelam yang lalu. Beberapa pemuda desa kami juga mendapat beasiswa belajar di Frankfurt atau Leipzig.
Tiba-tiba dua orang pemusik kami berhenti. Mereka tampak kelelahan. Sang biduan, yakni seorang pemudi Jerman berambut emas yang cantik, tampak kesulitan mengatur desau nafasnya. Berulang kali ia mencoba menarik nafas sekuat tenaga, tetapi malah terbatuk. Sedang sang pemain biola, seorang pemuda Jerman yang kurus dan ringkih, menenggak secangkir vodka juga sambil terbatuk-batuk. Mereka berdua tampak sangat kepayahan.
Pengunjung bar sudah pergi. Hanya ada aku sebagai pemilik tempat ini, dan beberapa pegawaiku. Semuanya laki-laki dan veteran perang. Ada yang berasal dari kesatuan marinir, tetapi kebanyakan adalah bekas anggota infantri. Mereka semua sudah pernah melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana brutalnya pasukan Nazi.
Para veteran yang sekarang menjadi tukang sapu atau peracik minuman itu juga memiliki benang merah yang sama, yakni sama-sama kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Zvetlana, tunangan Igor, tewas ditembak tentara SS di St. Petersburg. Anna dan Peter, dua anak Sergey Barlokonov, mati di dalam kamar gas Nazi di perbatasan Polandia. Tetapi yang paling tragis Dmitri Sherkhinov. Semua anggota keluarganya tewas digantung orang-orang Jerman.
Gadis penyanyi itu hampir saja ingin duduk, ketika pacarnya sang pemain biola memberikan kode dengan tangan. Sontak gadis itu kembai berdiri. Kakinya sangat kaku dan kikuk. Maklum, sudah sedari kemaren malam, ia berdiri dan bernyanyi untuk kami semua. Igor berdehem, dan mendekati mereka. Sang pemain biola yang sudah lemas langsung mengambil posisi. Ia menggesekkan biolanya kembali, sebuah lagu berkumandang lagi. Aku, dan ternyata juga para pegawaiku, langsung larut kembali dalam kenangan kami masing-masing. Perang memang kejam, untuk itulah kami berdoa semoga perang tidak terjadi lagi.
Lalu bagaimana dengan nasib sepasang kekasih Jerman itu? Entahlah, tapi aku berpikir bahwa penampilan mereka sangat bagus. Mungkin mereka merindukan teman-teman mereka yang lain, yang kini entah bagaimana nasibnya. Tetapi mereka sudah berjanji akan bernyanyi dan bermain biola untuk kami. Entah sampai kapan.
kalo ngomobngin sepasang kekasih jadi keingetan waktu muda dulu....
BalasHapus