Cerita Pagi Hari
Pagi ini di Surabaya. Kabut menyelimuti jalanan kota, memutihkan udara menghalangi pandangan. Cukup pekat layaknya asap. Mengingatkanku akan derita saudara bangsa yang hidup dalam penindasan kapitalisme yang rela membakar hutan berusia ratusan tahun lebih demi membuka kebun sawit.
Sebuah Cerita di Pagi yang Berkabut
Sebuah kejutan, karena tidak selalu kabut turun. Beberapa anak kulihat terpaku. Mungkin takjub. Mungkin takut. Semoga ibu bapaknya bisa menjelaskan dengan baik ini hanyalah fenomena alam. Bukan malah menakut-nakuti dan membual bahwa ini pertanda jika Tuhan marah karena rakyat tidak mau menegakkan hukumNya. Percayalah, banyak superstition dan tahayul yang lahir dari keisengan orang tua yang membual pada anaknya.
Aku membelah Jalan A. Yani, salah satu urat ekonomi kota buaya. Setiap pagi sampai siang, lalu sore sampai malam, jalur ini jadi arena antrian mobil, motor dan truk. Ada yang memang warga Surabaya, tapi kebanyakan penduduk kabupaten sekitar. Yang mengais rupiah di Surabaya, kemudian pulang untuk menyerahkannya kepada istri dan anaknya. Sisanya dikumpulkan, sekedar untuk main saham, berkaraoke atau nginep semalam dua malam di Batu bersama teman tapi mesranya.
Kabut mulai menghilang, seiring dengan mentari yang makin meninggi. Cahayanya oranye, laksana jeruk Mandarin yang dipajang di toko-toko buah megah, tempat orang-orang kaya berbelanja. Mereka rela merogoh duit lebih banyak demi apel Washington, pisang Cavendish atau durian Thailand, asal mendapat buah kualitas premium. Yang jauh dari bekas tangan kuli-kuli pasar. Mungkin ini alasan kenapa buah dan sayuran dalam negeri jadi layaknya warga kelas dua.
Kira-kira pukul enam lewat lima belas, motorku sampai di depan kebun binatang Surabaya. Sebuah titik yang jika siang macetnya bisa bikin darah mendidih. Tetapi di pagi ini, cukup lenggang. Beberapa orang nampak duduk-duduk sambil bercengkrama, membaca koran, beristirahat setelah berolahraga, atau mengambil foto. Ini hari Kamis, dan mereka bisa bersantai. Terlalu naïf jika menuduh mereka adalah para pengangguran. Atau koruptor yang tidak butuh kerja lagi. Tapi yang pasti, mereka tidak harus berangkat pagi. Dan sebaliknya, justru bisa menikmati pagi.
Kabut mulai menghilang ketika aku meraih jalan Diponegoro. Mungkin beberapa menit yang lalu kabut sempat menghampiri kawasan ini. Kawasan yang sebetulnya enak untuk kaum pedestrian dan penganut jalan-jalan dengan kaki bukannya dengan mobil. Trotoarnya enak dan memanjang sampai ujung. Hanya terpotong oleh beberapa pertigaan/perempatan. Walau begitu, percayalah, selain saat Car Free Day, kota ini tidak terlalu ramah bagi para walker.
Jam menunjukkan pukul setengah delapan. Lebih baik aku berhenti menulis tulisan tidak penting ini. Atau bosku akan mengira aku menyia-nyiakan waktuku di saat bekerja. Dan kemudian memecatku. Lalu nasibku akan seperti kabut tadi. Menguap. Menghilang. Lenyap.
Posting Komentar untuk "Cerita Pagi Hari"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.