Liverpool: Semua Akan Salah Pada Waktunya!
Jadi fans liverpool itu
bukan takdir yang mudah. Maka jangan coba-coba memilihnya, karena itu berat,
kau tak akan kuat. Dilan saja tak akan sanggup.
Jika kalian ingin klub
yang menang terus sepanjang musim dan konsisten menghadirkan gol-gol cantik,
silahkan pilih Bayern Munchen, Juve ato Real. Jika ingin klub yang hobi
mengimpor pemain-pemain bekelas di bursa transfer, PSG, MU, Chelsea atau City
bisa jadi pilihan. Atau jika punya sifat agak ke kiri-kirian dan cenderung suka
yang rebel-rebelan, Barca atau Inter bisa jadi opsi. Tapi kalau kalian
benar-benar ingin memilih Liverpool, siapkan mental dobel. Karena walau sering
tampil trengginas di awal musim, Si Merah hampir selalu letoy memasuki paruh ke
dua.
Kata orang, Liverpool
identik dengan kejutan. Padahal bagi fansnya sendiri, saking seringnya memberi
kejutan, hati sudah kebal alias sudah tidak mengagetkan sama sekali. Mulai dari
Gerrard Houllier sampai Mister Klopp, penyakit Liverpool cuma satu, tapi parah:
konsistensi.
Sindrom Bangau
Entah pernah punya dosa
apa, tapi fakta membuktikan Liverpool selalu tidak pernah bisa konsisten. Tampil
kesetanan lawan klub-klub raksasa tapi ancur ketika menghadapi tim gurem.
Sialnya, jumlah tim gurem pastilah jauh lebih banyak dari tim raksasa.
Nampaknya dukun palling saktipun belum tentu bisa meruwat.
Tapi ini memberi
tantangan tersendiri bagi para Liverpudlian. Maka jangan heran, setiap weekend adalah sebuah big match. Entah
itu ketika bertemu Machester United atau bersua Swansea selalu bikin sensasi
deg-deg ser di hati.
Sebenarnya di era Brendan
Rodger, semua sudah mulai berubah. Liverpool terlihar sedikit konsisten.
Sedikit. Karena pada kenyataanya, anak-anak Anfield juga masih hobi tergelincir
menjelang laga-laga pamungkas.
Beda di liga beda pula di
kompetisi internesyenel. Di Liga Champion, Liverpool masih jadi tim Inggris
terbaik hingga saat ini. Mungkin jika bisa diambil sampelnya, DNA anak-anak
Liverpool memang lebih cocok untuk berlaga di UCL daripada di EPL. Sayangnya,
untuk bisa tampil di UCL, sebuah klub minimal harus finish di empat besar di
EPL. Nah, kan.... bikin deg-degan lagi.
Ikonik
Banyak yang berpendapat,
Liverpool adalah klub ikonik. Artinya hanya mengandalkan satu dua pemain saja.
Pendapat ini mungkin benar, tetapi tidak mutlak benar. Karena kebenaran sejati
hanya milih Tuhan. Amien....
Memang sejak jaman TVRI
sampai TV kabel, Liverpool sering dapat durian runtuh. Bahkan kalo perlu durian
bangkok. Bayangkan saja, secara berturut-turut, Liverpool selalu memiliki
pemain hebat sundul langit. Sebut saja Owen, Gerrard, Alonso, Torres, Suarez,
Sterling, Cocotho Coutinho hingga trio pemain spektakuler jaman now:
Firminho, Mane dan Salah.
Masalahnya kemampuan
Liverpool dalam menemukan permata nan elok yang terkubur di dalam tumpukan suket
di kandang wedhus itu tidak sebanding dengan kelihaian dalam mempertahankan apa
yang sudah mereka miliki. Ada yang dibajak ketika bagus-bagusnya ada yang pake
acara ngambek-ngambekan, manja-manjaan dulu. Ujung-ujungnya juga minggat. Khan
doggy namanya....
Nampaknya kisah
telenovela kalah dramatis tinimbang drama sabun colek ala Anfield.
Tidak perlu disebutkan
satu persatu, karena hanya menimbulkan luka di hati. Sepakbola modern bukan
melulu soal bagaimana menang di lapangan, tapi juga menang di luar lapangan.
Maksudnya bukan nyogok, mblo.... jangan salah paham dulu.
Jajaran pengurus dan
direksi LFC juga nampaknya harus banyak intropeksi. Mengapa bisa pemain-pemain
andalah selalu minggat begitu sudah moncer skillnya. Ingat ini Liverpool, bukan
Parma. Apalagi Persipura.
Kini tugas berat sudah
menanti. Menjelang akhir musim tiba, kelihaian jajaran petinggi LFC diuji.
Bagaimana mereka bisa mempertahankan Salah, pemain kriwul yang andhap asor bin sholeh plus fenomenal. Jika sampai si
kriwil ini lepas, bukan tidak mungkin LFC bakal bubar 2030 LFC bakal
terus jadi penggembira lagi dan lagi tanpa pernah jadi juara.
Walau begitu klub
tetaplah di atas pemain. Seperti bunyi salah satu butir P4, kita harus
mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan. Ga
nyambung sih, tapi intinya Liverpool tetaplah Liverpool. Klub ini tak pernah
kehilangan daya magisnya. Terbukti para calon pemain hebat juga masih banyak
yang bermimpi bisa berseragam bango sakti. Sebut saja Jandia Eka Putra
Virgil Van Dijk, Grujic dan kabarnya Naby Keita.
Revolusi Klopp.
Hadirnya manager baru
sejak dua musim lalu, Mr. Klopp, membawa angin tersendiri. Walau tetap dalam
bayang-bayang patah hati.
Racikan jenius mister
kacamata itu telah berhasil membuat karakter Liverpool menjadi garang bak singa
Afrika yang kelaparan. Gegenpressing
namanya. Formula yang berintikan rebut-lari-serang-gol telah memakan banyak
korban. Arsenal, Porto bahkan tim terbaik Britania saat ini, City.
Sayangnya mujizat mister
Klopp ga ampuh-ampuh amat. Memasuki paruh kedua, LFC melorot keluar dari dua
besar! Duh Gusti paringono sabar.....
Entah di nomor berapa
nanti LFC finish, tapi harapan masih tetap ada. Liga Champion!
Mungkin kalau perlu,
Liverpool migrasi saja ke liga Siprus atau Austria supaya tetap fokus di jalan
ninja yang sudah ditakdirkan, UCL.
Sepakbola adalah proses.
Sama seperti bercinta pacaran. Masalahnya tidak semua bunga jadi buah
dan tidak semua mutan jadi anggota X-men. Apapun itu, Liverpool akan tetap di hati.
Andai gagal juara sekalipun ia tetap bunga terindah bagi semua Liverpudlian.
Karena memang menjadi seorang fans Liverpool itu hanya untuk orang-orang tahan
banting. Dan juga tahan bully akibat terlalu lama tidak juara EPL.
YNWA, Kop!!!
Apakah sifat itu masih terbawa hingga sekarang? Who knows?
Posting Komentar untuk "Liverpool: Semua Akan Salah Pada Waktunya!"
Pembaca yang baik adalah yang menulis komentar sebelum pergi. Komentar Anda akan muncul setelah kami review. Dilarang menuliskan link hidup apapun.