Jangan Sampai Pandangan Duniamu Menutupi Pandangan Hatimu
Hari ini kubuka dengan hal-hal remeh seperti biasanya; bangun, mandi, makan pagi dan pergi bekerja. Sebuah rutinitas yang bisa disebut membosankan.
Kemudian di tengah-tengah pekerjaanku, aku membuka sebuah buku yang sudah lama tidak kubuka. Sebuah buku tentang Pandangan Dunia.
Pandangan Dunia atau world view adalah adalah orientasi kognitif mendasar suatu individu atau masyarakat yang mencakup seluruh pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat, termasuk filsafat alami; anggapan fundamental, eksistensial, dan normatif; atau tema, nilai, emosi, dan etika. Kata ini merupakan calque dari bahasa Jerman Weltanschauung.
Pandangan dunia juga dapat bermakna sebuah pandangan universal terhadap keberadaan atau eksistensi, atau sebuah pandangan universal tentang apa yang ada.
Apakah penting bagi seseorang menyusun suatu pandangan dunia, misal mengenai Tuhan, alam semesta dan sesama manusia?
Apa akibat jika pandangan dunia ini tidak dibuat lalu tidak juga dipatuhi?
Satu yang jauh lebih penting, apakah pandangan dunia ini muncul dengan sendirinya dalam kehidupan seperti rasa kenyang muncul dengan sendirinya setelah makan? Atau ia harus susah payah disusun, dibentuk dan dirangkai untuk kemudian dimunculkan?
I don't give a F#ck!
Pandangan duniaku secara pribadi muncul dari pengalaman dan pemahamanku, apa yang aku alam dan apa yang aku pahami.
Tetapi bukan berarti jika aku memiliki suatu pandangan dunia, aku dengan sempurna dapat menterjemahkan semesta dan isinya. Bahkan dengan cara yang paling subyektf sekalipun.
Aku memberi ruang pada ketidak-tahuan. Aku memberi tempat pada kekosongan. Agar seiring berjalannya waktu, aku bisa menjadi lebih tahu sekaligus bisa mengisi hal-hal baru.
Katakanlah konsep tentang Tuhan. Banyak yang aku tak tahu tentang-Nya, tapi satu yang aku yakini Tuhan itu bernama Yesus dan Ia pernah turun ke dunia menjadi manusia. Persis seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci dan Para Nabi.
As simple as that.
Lalu bagaimana aku memandang Tuhan? Tuhan atau tuhan yang lain?
Should I say they all are fake? They don't exist?
Big No!
Waktu mengajarkan apa itu penerimaan. Terlebih jika kau seorang minoritas yang bukan satu-dua-tiga-empat-sepuluh-seratus-kali dilecehkan karena kepercayaanmu.
Bagiku Yesus adalah Tuhan dan itu sudah lebih dari cukup. Lalu bagaimana dengan yang lain? Ahura Mazda misal?
Aku tak mau ambil pusing! I don't f#cking care! Kenapa? Karena aku tidak tahu.
Bagaimana mungkin aku berpendapat tentang sesuatu yang aku tak tahu? Seperti Ahura Mazda?
Mungkin penganut Zoroastrian pernah mengalami suatu perjumpaan yang luar biasa hingga akhirnya percaya pada Ahura Mazda. So, what?
Ketidaktahuan menyelamatkanmu dari kegoblokkan. Juga kemunafikan. Sok tahu dan sok pintar. Suatu penyakit umat manusia abad kegelapan yang suka mengurusi keyakinan orang lan dan tak segan berbuat jahat pada sesamanya atas dasar perbedaan keyakinan.
Suatu sore sebelum menulis, aku membaca suatu artikel di beranda facebook. Beberapa orang mengganti kolom agama di KTP menjadi Penghayat Kepercayaan.
Iseng, aku buka heandphone dan browsing. Ada dua artikel menarik. Satu tentang Suluh Budi Dharma (Subud). Yang lainnya tentang Paguyuban Noermanto.
Baik pendiri Subud maupun Paguyuban Noermanto dikisahkan mengalami suatu perjumpaan di luar logika biasa dengan sesuatu yang dahsyat. Setelah mengalami hal itu dan jika itu memang benar, maka baik pendiri Noermanto maupun Subud tak akan sudi berpindah keyakinan, walau mereka dibakar hidup-hidup sekalipun.
Kenapa? Karena mereka sudah mengalaminya, yakni suatu yang menurut mereka adalah hakikat tertinggi dari segala sesuatu.
Sama sepertiku. Akupun tidak mau beranjak dari pandanganku kepada Yesus. Karena itu yang aku tahu dan yakini. See...
Kita harus memberi ruang pada pandangan dunia kita, semua tempat untuk pandangan dunia orang lain. Mengapa?
Secara pribadi karena aku tak tahu. Ya, itulah fungsi ketidaktahuan yang sudah kita bahas tadi. Ketidaktahuan yang berlandaskan penghormata. Penghormata pada pandangan dunia orang lain.
Biarkan mereka berjalan sesuai dengan pemahamannya, asal tidak melanggar hukum dan norma, itu sudah lebih dari cukup.
Bukan hanya pada Ahura Mazda atau Subud atau Noermanto, pada jutaan kepercayaan lainnyapun aku berpendapat sama.
Bahkan lebih dari itu, kehidupan itu terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Termasuk karena kau terlalu sibuk menyusun pandangan duniamu.
Apa akibat jika pandangan dunia ini tidak dibuat lalu tidak juga dipatuhi?
Satu yang jauh lebih penting, apakah pandangan dunia ini muncul dengan sendirinya dalam kehidupan seperti rasa kenyang muncul dengan sendirinya setelah makan? Atau ia harus susah payah disusun, dibentuk dan dirangkai untuk kemudian dimunculkan?
I don't give a F#ck!
Pandangan duniaku secara pribadi muncul dari pengalaman dan pemahamanku, apa yang aku alam dan apa yang aku pahami.
Tetapi bukan berarti jika aku memiliki suatu pandangan dunia, aku dengan sempurna dapat menterjemahkan semesta dan isinya. Bahkan dengan cara yang paling subyektf sekalipun.
Aku memberi ruang pada ketidak-tahuan. Aku memberi tempat pada kekosongan. Agar seiring berjalannya waktu, aku bisa menjadi lebih tahu sekaligus bisa mengisi hal-hal baru.
Katakanlah konsep tentang Tuhan. Banyak yang aku tak tahu tentang-Nya, tapi satu yang aku yakini Tuhan itu bernama Yesus dan Ia pernah turun ke dunia menjadi manusia. Persis seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci dan Para Nabi.
As simple as that.
Lalu bagaimana aku memandang Tuhan? Tuhan atau tuhan yang lain?
Should I say they all are fake? They don't exist?
Big No!
Waktu mengajarkan apa itu penerimaan. Terlebih jika kau seorang minoritas yang bukan satu-dua-tiga-empat-sepuluh-seratus-kali dilecehkan karena kepercayaanmu.
Bagiku Yesus adalah Tuhan dan itu sudah lebih dari cukup. Lalu bagaimana dengan yang lain? Ahura Mazda misal?
Aku tak mau ambil pusing! I don't f#cking care! Kenapa? Karena aku tidak tahu.
Bagaimana mungkin aku berpendapat tentang sesuatu yang aku tak tahu? Seperti Ahura Mazda?
Mungkin penganut Zoroastrian pernah mengalami suatu perjumpaan yang luar biasa hingga akhirnya percaya pada Ahura Mazda. So, what?
Ketidaktahuan menyelamatkanmu dari kegoblokkan. Juga kemunafikan. Sok tahu dan sok pintar. Suatu penyakit umat manusia abad kegelapan yang suka mengurusi keyakinan orang lan dan tak segan berbuat jahat pada sesamanya atas dasar perbedaan keyakinan.
Suatu sore sebelum menulis, aku membaca suatu artikel di beranda facebook. Beberapa orang mengganti kolom agama di KTP menjadi Penghayat Kepercayaan.
Iseng, aku buka heandphone dan browsing. Ada dua artikel menarik. Satu tentang Suluh Budi Dharma (Subud). Yang lainnya tentang Paguyuban Noermanto.
Baik pendiri Subud maupun Paguyuban Noermanto dikisahkan mengalami suatu perjumpaan di luar logika biasa dengan sesuatu yang dahsyat. Setelah mengalami hal itu dan jika itu memang benar, maka baik pendiri Noermanto maupun Subud tak akan sudi berpindah keyakinan, walau mereka dibakar hidup-hidup sekalipun.
Kenapa? Karena mereka sudah mengalaminya, yakni suatu yang menurut mereka adalah hakikat tertinggi dari segala sesuatu.
Sama sepertiku. Akupun tidak mau beranjak dari pandanganku kepada Yesus. Karena itu yang aku tahu dan yakini. See...
Kita harus memberi ruang pada pandangan dunia kita, semua tempat untuk pandangan dunia orang lain. Mengapa?
Secara pribadi karena aku tak tahu. Ya, itulah fungsi ketidaktahuan yang sudah kita bahas tadi. Ketidaktahuan yang berlandaskan penghormata. Penghormata pada pandangan dunia orang lain.
Biarkan mereka berjalan sesuai dengan pemahamannya, asal tidak melanggar hukum dan norma, itu sudah lebih dari cukup.
Bukan hanya pada Ahura Mazda atau Subud atau Noermanto, pada jutaan kepercayaan lainnyapun aku berpendapat sama.
Bahkan lebih dari itu, kehidupan itu terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Termasuk karena kau terlalu sibuk menyusun pandangan duniamu.
Setuju. Memang tidak seharusnya kita memaksakan kepercayaan kita.
BalasHapus:0 :)
HapusMantap
BalasHapusThanks dah mampir gan :)
Hapus