Ben dan Senja (Sebuah Cerpen)
Cerpen - Siang rasanya berlalu lebih cepat hari itu. Ben masih duduk di kursi
kesayangannya. Sebuah kursi kayu yang catnya sudah mengelupas di sana-sini.
Kata pemilik kafe ini, dulu kursi ini adalah favorit bagi orang-orang yang
gemar merenung. Merenung dan menangisi kekalahan mereka dalam pertandingan
melawan takdir.
Sudah sejak pukul empat dia duduk disana,
ditemani secangkir Americano dan
beberapa potong roti manis yang belum ia jamah sedikitpun.
sumber : unsplash |
Tiba-tiba Siemens tua miliknya bergetar, pertanda ada panggilan
masuk. Cepat ia ambil benda oval hitam yang jaman kini sudah layak masuk museum
itu.
"Iya Bu, saya paham. Tapi maaf,
rasanya saya tidak bisa kesana hari ini?"
"Lho kenapa? Sibuk? Atau sakit?"
"Bukan bu, hanya saja saya sedang
menanti seseorang. Saya harap ibu bisa mengerti."
Terdengar dengusan nafas yang cukup
panjang. Lalu kemudian percakapan via udara itu terhenti.
Ben memang sudah memutuskan, hari ini ia
tidak akan bertemu kliennya. Entah itu Tante Jean, wanita kaya istri muda
pejabat penting ibukota, Bu Intan, pengusaha muda kelapa sawit yang sedang naik
daun. Baginya hari itu ia ingin duduk saja.
Sebenarnya Ben tidak berbohong. Hari itu
ia memang sudah ada janji. Tetapi ia tidak tahu jam berapa tepatnya. Yang ia
tahu, yang ia nanti pasti datang.
Sambil menunggu yang dinanti, Ben
melemparkan imajinasinya. Ia dorong pikirannya untuk terjerembab dalam lumpur
kenangan. Ia susuri kembali hari-harinya.
Ben Rukmanto, seorang marketing asuransi
yang sangat cakap. Hampir tiap bulan ia selalu bisa mencapai target. Namanya
melambung tinggi, disegani kawan dan disayang bosnya. Juga menjadi idaman
banyak wanita.
Awalnya adalah Cik Monica. Seorang wanita
yang luar biasa kaya dan cantik. Cik Monica ini juga adalah klien pertama Ben
sekaligus sosok yang memperkenalkannya dunia baru yang belum pernah ia impikan
sebelumnya.
Di bawah bimbingan Cik Monica, Ben muncul
menjadi seorang agen asuransi dengan karir paling bersinar. Lalu menyusul
Felice, seorang janda pemilik perusahaan kacang menjadi kliennya. Dari wanita
yang gemar arisan dan membentuk ratusan grup sosialita ini, Ben terus
kebanjiran klien.
Bukan hanya Tante Jean atau Bu Intan saja,
sederet wanita dan gadis dari berbagai latar belakang menjadi klien setianya.
Mereka bukan tanpa alasan mempercayakan Ben untuk urusan asuransi dan
investasi. Ben memang seorang ahli marketing kelas wahid. Selain profesional di
bidangnya, ia rela membantu para kliennya di luar bidang pekerjaannya. Dan
tentu saja dengan sembunyi-sembunyi.
Bahkan terakhir tersebutlah nama Sunny.
Wanita berusia 45 tahun yang bernama asli Sundari Aminatul itu sebelumnya adalah seorang wanita yang lugu dan patuh pada suami. Tetapi begitu ia mendapatkan
tunjangan sertifikasi, jiwa binalnya tampak. Tak mau kalah dengan suaminya yang doyan jajan, iapun mulai mengeksplorasi dunia baru. Mulai dari berkencan
dengan murid ataupun wali muridnya, sesama rekan kerja hingga tentu saja Ben. Ia juga klien
yang paling royal bagi Ben.
Perjuangan Ben penuh liku. Memulai karir dari level yang paling bawah
bukanlah hal yang mudah. Tapi Ben mampu. Dari desa di ujung selatan Jawa Timur
ia merantau ke Surabaya, metropolitan terbesar di kawasan Indonesia timur.
Tetapi hari-hari penuh penderitaan dan
perjuangannya mulai menampakkan hasilnya. Sebuah apartemen megah di kawasan
Citra Land menjadi buktinya. Begitupula sebuah Juke putih yang full modifikasi. Gadget-nya juga selalu up-to-date. Hanya saja ia
masih menyimpan Siemens tuanya. Handphone pertama miliknya itu sudah
menemaninya sejak lulus kuliah.
Namun kini ia mulai lelah. Baginya
semua itu hanyalah proses yang tidak berujung. Semakin banyak ia mendapatkan
klien, semakin banyak pula target yang diberikan bosnya.
Para kliennyapun makin terasa merampas
kehidupannya. Hampir setiap malam ia habiskan waktu untuk mengurusi mereka.
Dari kamar hotel yang satu ke kamar hotel yang lain. Dan kini ia mulai menyerah.
Jam menunjukkan pukul lima lebih dua
belas. Yang di nanti akhirnya tiba. Ben pun mulai bersiap.
Ia berdiri tegak menghadap barat. Kafe
tempat ia ngopi hari itu, De-Croot Cafe,
memang menghadap barat. View andalan
mereka adalah sunset. Percayalah,
melihat sunset dikota
ini sama susahnya dengan melihat malaikat. Gedung-gedung menjajah pandangan dan
seakan tidak mau berhenti untuk terus tumbuh. Maka tak salah De-Croot menjadi tempat favorit Ben.
Sosok yang dinanti kini semakin dekat
menghampirinya. Ben memasang wajah riang. Memang setiap saat ia selalu memasang
wajah seperti itu. Tapi itu semua hanyalah fake, hanyalah kepalsuan. Ia seperti robot yang
diprogram untuk auto-charming.
Tetapi kali ini ia sungguh riang tersenyum.
Lesung pipitnya makin terlihat seiring
dengan semakin tenggelamnya matahari, masuk ke peraduannya. Tamu yang ia
nantikan kini telah datang. Penantian itu kini telah berakhir. Ya, Ben sedang
menanti senja.
Senja adalah sahabat lama Ben. Sosok
tempat ia curahkan kegalauan dan keresahannya. Senja adalah yang paling setia
mendengarnya membual tentang impiannya menaklukan semua wanita cantik di kota
ini. Senja juga yang selalu melihatnya menangis dalam kehancuran, ketika ia
melihat dirinya sendiri yang tak ubahnya seperti mesin yang telah kehilangan
jiwa seorang manusia.
Senja pun datang. Ia merambat melalui
cahaya oranye yang terpendar dari sang surya. Ia hadir dalam guratan lukisan
surga di langit ufuk barat. Ia juga hadir dalam sepoi desiran lemah angin yang
bertiup. Itulah senja.
Tidak bisa tidak, senja yang sama seperti lima belas tahun yang lalu itu serasa menampar pipinya. Bagaimana ia kemudian terhempas menuju ruang kehampanan dimana dia dan sapi-sapi milik ayahnya sama-sama menikmati senja yang sama, batas antara siang dan gelap, sebelum kembali pulang ke rumahnya yang hangat dan mendengar ayahnya mendongeng kisah-kisah lama Mahabarata atau Ramayana.
Setelah puas menikmati langit, Benpun
duduk. Ia habiskan sisa Americano-nya,
dan mulai menyedot sebatang samsu kretek
favoritnya. Kini hatinya menjadi lebih lega. Ritual yang hanya beberapa menit
itu telah memantapkan langkahnya. Dengan sebuah gerakan yang jantan, ia berdiri
memanggil seorang waitress. Gadis cantik berambut ekor kuda yang sedari tadi
mengagumi Ben dari balik jendela dapur itu datang. Ia pasang senyum terbaiknya.
"Bill-nya ya mbak."
"Baik kakak. Ada lagi yang bisa saya
bantu?"
"Sudah, makasih."
Ben segera berlalu. Juke-nya melaju gagah menyusuri
jalanan dengan penuh nafsu yang dipacu. Menuju selatan. Menuju tanah kelahirannya. Ben tersenyum. Dengan langkah mantap ia kembali ke
kampung. Pulang.
Cerpennya mantull. Coba publikasikan aja di Wattpad. Siapa tahu bisa di bikin novel 😅😂
BalasHapuscerpen yang seru
BalasHapus